Beberapa hari setelah itu...
PAGI yang lesu, seperti ada yang terluput dan lupa menyimpannya di mana. Sepintas, temannya Nur memang masih membayang samar di depan setiap hasratku. Terutama pagi ini. Namun, dia benar-benar tidak bergeming sedikitpun, malam itu.
“Sombong sekali gadis itu!!”
Mungkin sepintas itu memang sudah berlalu. Aku berharap tak ada Gadis Berkaos Merah Muda lagi. Setidaknya di pikiranku, dia tidak terlalu berkesan seperti Gadis Berkerudung Merah Muda yang datang di mimpiku setahun yang lalu. Yah, meskipun Gadis Berkaos Merah Muda itu lebih nyata. T-Shirt dan kerudung memang sesuatu yang berbeda, meskipun keduanya berbahan katun dan berwarna sama, ‘Merah Muda’.
***
Sekarang, seperti biasa kedua anak didik yang PKL itu, terlihat berjalan melintas di depan ruanganku, yang hanya dibatasi kaca transparan itu. Muka mereka membelakangi satu sama lain. Seperti dua anak nakal yang senang bertengkar, dan siap membuat kekacauan di rumah orang.
Kemudian mereka berdua masuk ke ruanganku. Seperti biasa, mereka akan membantuku sebisa mereka, dan aku juga harus mencari bahan untuk kesibukan mereka, hari ini. Untuk dapat nilai bagus, mereka harus melakukan yang aku suruh.
“Pagi, Mas.” Sapa mereka.
“Pagi!!”
Naluri penjajah muncul tiba-tiba. Mungkin, karena kedua manusia ini mirip pekerja rodi zaman Belanda. Maklum saja, hampir sebulan mereka jauh dari orang tua.
“Pokoknya nggak ada yang namanya telfonan di belakang, dan nggak ada yang namanya bersantai-santai. Ini jam sekolah dan kerja!” kataku, harus membuat muka mereka kecut, berkerut, sampai lecek.
“Sekarang, kalian cari gunting!” tegasku lagi, “Aku lagi repot, tolong bantu guntingin banner, biar mas finishing nggak kerepotan.” Mau tak mau, mereka harus nurut. Karena aku juga pernah kena semprot Mbak Riya (istri Mas Basuki) atas ketengilan mereka. Kini giliranku.
Kemudian dengan malas mereka mencari gunting, lalu mengikuti perintahku.
Tiba-tiba Nur melirik, “Eh, aku ketemu Mas Abi sama Mas Renjer di Pasar Pereng, loh,” katanya, modus ngobrol dengan Nurfa. “Eh tau nggak? Kayaknya ada yang lagi penasaran sama cewe,” lanjutnya berlagak heboh, tapi pandangannya berkilas ke arahku, membuatku tergoda untuk meliriknya juga.
Dahiku berkerut. Ternyata Nur juga masih mengingat malam itu. Gadis Berkaos Merah Muda pun hadir lewat mulut bawel Nur, pagi ini.
Tapi Nurfa—yang memang tak pernah akrab dengan Nur—untuk sementara memasang wajah apatisnya, seakan tak ambil pusing atas celotehan Nur.
“Sudah... ! kerja yang bener, niat bantuin nggak, sih?!!” semburku.
“Oh ya... ? pasar kuliner yang di depan toko busana dan textile gede itu, kan?” tiba-tiba Nurfa nyemplong. Tak biasa-biasanya dia mau menanggapi omongan Nur dengan seantusias itu. Biasanya mereka lebih sering diem-dieman sambil mainan henfon, hanya ngombrol sekali-kali saja, itupun untuk keperluan yang sangat penting. Mungkin, karena penindasanku ini, membuat mereka sedikit kompak. Bagus juga.
“Yup, bener banget, Fa.”
“Siapa si… ?” Nurfa berlagak penasaran.
Sepertinya, mereka berdua sedang menjadikanku sebagai kambing yang congekan.