Sabtu Malam...
MAGHRIB, aku sudah sampai rumah. Jaket dan tas langsung melayang dan mendarat di atas ranjangku. Lalu—tak biasa-biasanya—aku langsung ambil handuk, dan masuk ke kamar mandi. Aku lama sekali di kamar mandi, sampai orang rumah berkali-kali menanyakan keadaanku, di dalam.
"Turu apa neng njero(12)... ?!" teriak salah seorang dari luar, "Cepetan...! Lah... wis arepan isya...!(13)"
Sekitar satu jam kurang, aku baru keluar. Sejenak kukibirkan badanku, mengibaskan rambut basahku, dan mulai merasakan ringan. Seperti terbebas dari jerat yang lama mengakar. Akar yang telah tercerabut, lalu dibuang ke liang perapian dan kuabaikan selamanya. Lalu, aku lirik jam dinding di ruang keluarga, sepertinya masih ada waktu untuk maghriban.
Setelah sholat, aku sedikit serius berdandan. Jaket berbahan denim melekat di badanku dan aroma segar menebar di sekitarku. Motor merahku pun sudah siap di teras rumah. Sekarang, tinggal berdoa “Semoga berjalan lancar, Amin!!”
Akhirnya, sebelum berangkat aku ambil henfon, lalu SMS Liya.
Aku: “Aku mau brangkat nih, jadi kan?”
Lama tak ada balesan. Aku pikir, Liya masih ragu dengan pertemuan ini. Mungkin sekarang dia sedang berbisik-bisik, “Iya nggak ya... iya nggak ya?” Tapi, ini sudah terlambat untuk membatalkannya, karena apapun yang terjadi, aku tetap pada rencanaku semula. Seakan tak tergoyahkan, aku berangkat dengan semangat dan optimisme tinggi, serta mengabaikan anggapan tentang keraguan Liya tadi.
Tapi, sebelum sempat menstarter motor, tiba-tiba henfonku berdering tanda ada pesan masuk, dan sekarang aku harus melayani SMS Liya.
Liya: “Iya Mas, jadi, qt ketemu d alun2 y.”
Aku: “Ok’, Dhe.”
Aku: “Kamu datang sendiri y?”
Liya: “Ga tau Mas ntar.”
Aku: “Klo kamu datang sndiri, qt bisa jalan2 dulu, ntar kamu tak anter pulang deh!??”
Liya: “Y ga tau, kayakya ga da yg ngnter, Mas!”
Aku: “Masa ga ada, pasti ada lah. Ntar qt jalan2 dulu, trus tak anter pulang, Dhe!!” rayuku memaksa, seperti dirasuki setan.
Tak ada balesan lagi, aku pun mulai berangkat.
Kota itu, kota yang sebenarnya tidak asing bagiku, karena sering lewat, tapi hanya di jalur-jalur utama. Hanya setengah jam perjalanan dari kotaku ini. Tapi kabut ghaib sepertinya mengaburkan ingatanku tentang jalan menuju kota itu. Ada banyak rute jalan yang mengarah ke kota itu. Namun, satu yang paling sering aku lewati adalah jalur desa, di arah utara. Jalur yang sejuk karena banyak pesawahan, dan berada di lereng gunung, dan cenderung gelap karena penerang jalan masih minim.
Malam minggu ini, jalan menuju jalur pedesaan sangat ramai. Banyak kendaraan yang melintas ke arah utara, ke arah lereng Gunung Slamet, ke pusat keramaian di puncaknya ranah Banyumasan. Mungkin mencari kehangatan di malam yang damai ini, atau sekedar melepas penat dari rutinitas pekerjaan. Bulak-bulak(14) yang seharusnya gelap gulita, kini memancarkan keramaian bak pasar malam di sudut-sudut jalannya. Di sepanjang jalan menuju simpang tiga, banyak jembatan kecil yang berubah menjadi semacam caffe; tempat nongkrong para pemuda desa yang juga biasa dijadikan tempat berkerumun memainkan gitar dan menenggak oplosan, yang membuatku geleng-geleng kepala.
Badan memang terasa rileks ketika larut dalam suasana petang seperti ini. Atmosfer kegairahan Saturday Night meliputi nafas setiap manusia. Bukan hanya yang kasmaran, tapi semua orang; mulai dari anak sekolahan yang meluapkan kegembiraannya karena besok libur, sampai tebaran senyum orang tua yang memiliki waktu bersama dengan anak-anaknya.
Beberapa menit pun berlalu. Motorku pun sudah melaju di jalur satu arah ke pusat kota—jalan lurus ke alun-alun—dari arah perempatan. Tak lama, pohon beringin sudah terlihat gagah perkasa dan gelap, seperti orang-orang besar yang berkulit hitam dan berambut kribo.
Di tikungan Masjid Agung, aku mulai memutar mengelilingi lapangan bundar, lalu terhenti di depan penjual durian. Kulepas helm merahku, ambil henfon merah, dan duduk rileks di jok motor yang berwarna merah pula, sambil SMS Liya.
Aku: “Ni ak dah di alun2.”
Liya: “Qw jg, km di mna si, Mas?”
Aku: “Di dekat penjual durian.”
Liya: “Di mana si? Qw jg dah di deket penjual durian.”
Aku: “Ak yg pake jaket jins, motor metik merah. Kamu di sabelah mana?”
Liya: “Qw di tikungan, Mas, dekat sekolah?”
Aku: “Y ak ke situ, ni.”
Dengan cepat aku pakai helmku lagi dan aku starter motorku, lalu menuju tikungan itu.
Akhirnya di tikungan pojok kiri sebuah sekolah swasta, dan di dekat penjual durian, untuk kedua kalinya kami bertemu. Kali ini Liya terlihat sangat berbeda dibanding ketika di Pasar Pereng; dari cara berpakaian, dan pandangannya yang lebih ceria. Dia datang membawa motor, dan di belakangnya bocah kecil berambut kribo berdiri malu-malu—yang selalu membuang tatapannya ke arah lain—menambah kesan bahwa Liya menganggap pertemuan ini hanya main-main. Aku menghela nafas dalam, sedikit kecewa dan tak enak hati. Mungkin aku yang terlalu antusias, menganggap pertemuan ini sebagai pertemuan antara ‘Lady’s and Gantelman’s’. Aku seperti berkata kepada diri sendiri: 'Tak usah berharap lebih dari pertemuan ini. Sudahlah...! tak ada Lady yang seperti anggur berwarna biru gelap dan manis mempesona, dan tak ada yang namanya jalan-jalan berdua seperti khayalanmu itu. Yang ada hanya mangga muda, yang membuat senyummu kecut.'
Tak ada jalan-jalan berdua, kecuali kalau bocah kribo itu bisa naik motor dan pulang sendiri. Tapi mustahil, jangkauan kakinya juga masih pendek. ‘Nggak lucu juga, kalau bocah kribo ini aku tinggal di sini, suruh jagain motor, nunggu aku dan Liya selesai jalan-jalan’.
Liya memakai jaket coklat dengan celana 3/ 4 bergaya lejeans, berwarna hitam. Terlihat sangat childis dan casual. Benar-benar tak menganggap pertemuan ini sebuah pertemuan istimewa. Namun, aku menghargai penyambutannya—meski tak seperti seorang kekasih yang sedang menyambut kekasihnya—tapi menurutku itu cukup ramah. Liya banyak tersenyum malam ini.
“Hai...,” aku sapa dia sambil melepas helm, turun dari motor, dan tersenyum kecut.
“Hai juga, Mas.” Dan inilah suara pertama yang aku dengar dari Liya.
“Mau ketemuan aja susah yah... hehe.” Aku tersipuh dan masih tersenyum kecut, tapi Liya tersenyum manis.
“Trus, gimana selanjutnya, nih? Ada ide?” kataku lagi.
“Ayuh, ke rumahku aja, Mas!” kata Liya.