Beberapa hari sejak pertemuanku dengan Liya...
MALAM INI aku lembur. Sambil berusaha berkonsentrasi, aku pandangi seluruh ruangan dengan hembusan nafas lelah. Banyak hal yang terjadi di ruang kerjaku. Ruangan yang menjadi saksi bisu segala cerita kesepianku. Dari pemandangan jalanan tentang realitas kehidupan di luar ruangan, sampai simbol-simbol kesukaan, dan gambar tokoh-tokoh idola, terpampang di tembok-temboknya. Banyak waktu yang aku lewati di ruangan ini dalam kesendirian, hanya ditemani layar monitor dan mesin printing raksasa yang bergerak otomatis.
Komputer sesekali kugunakan untuk menghibur diri; membuka platform sosial media, atau searching hal-hal yang dipertanyakan otakku. Meskipun, itu ilegal untuk rule di perusahaan ini. Tapi aku tak perduli, sama seperti tak pedulinya mereka pada setiap keluhanku di meeting bulanan.
Sekarang, jendela facebook kubuka. Dengan cepat tampak berandaku yang dipenuhi—sebagian besarnya—oleh status-status Liya dan interaksinya dengan teman-teman fb-nya yang sebaya dengannya. Pergaulan generasi sembilan tahun lebih muda sedikit memberi pengertian baru tentang cinta dan realitanya. Keraguan yang diawali saat pertemuan di alun-alun kemarin, muncul kembali bersama pertanyaan-pertanyaannya.
Komunikasi kami sebenarnya lebih intim dari sebelum kami bertemu, meski kami tak pernah bertemu lagi semenjak pertemuan di alun-alun itu, padahal kami katanya pacaran. Jadi, sepak terjang Liya di lingkungan kotanya, aku tak pernah tahu, dan anehnya aku merasa tak terbebani untuk tahu. Meskipun aku sepintas tahu ada banyak status facebook-nya yang menyuratkan bahwa aku bukanlah satu-satunya. Tapi aku tak pernah mempermasalahkannya, yang aku khawatirkan justru keluguannya yang bisa dimanfaatkan siapa saja.
Aku mungkin sudah terjerat oleh pesona Liya, sejak malam di pasar Pereng dulu. Tertipu oleh sosok anggun membisu, yang berdiri tegar di antara riuh lawakan garingku dan Renjer. Kekaguman yang memberi warna yang menyenangkan untuk hidupku. Namun, rasa ini sepertinya tak pernah mencapai derajat 'cinta'. Penampakan yang sangat childis di alun-alun itu, membuat aku malu untuk mencapai taraf itu. Karena Liya memang belum pantas dimiliki sepenuhnya. Dia masih seperti bola pingpong yang akan memantul kesana kemari. Dan aku tak berhak menangkap bola pingpong itu, apalagi memasukkannya ke dalam kantong celanaku.
Karena keraguan itu hubunganku dengan Liya menjadi biasa-biasa saja! Tanpa greget dan cenderung unprotectif. Menjadi situasi yang berpotensi memberikan sela pada rasa-rasa yang lain untuk masuk. Meskipun aku tak begitu peduli.
Seandainya dia memang gadis yang ada dalam mimpi itu, pasti tak akan kemana. Sesimpel itulah aku memikirkan Liya.