Sementara Liya seperti malu-malu mendekat, tapi Erma seperti menyerahkan dirinya untuk aku peluk.
BERITA pertunangan Liya, membuat hubunganku dengan Erma semakin dekat. Aku tak mau berada pada titik terendah, dalam keadaan tidak bergairah. Tak mau kembali dirasuki oleh jin kehancuran. Aku harap aku sudah belajar sesuatu dari kejatuhanku dulu. Bertahun-tahun aku berguru kepada rasa sakitku, dan sekarang aku harus menampakkan diri sebagai manusia yang terlatih ‘tahan banting’ dalam masalah asmara. Aku tak mau nyungsep lagi gara-gara cinta. Sudah cukup! kebodohan yang bertahun-tahun aku lakukan. Aku buang jauh-jauh kedegilan pikiran yang sudah menghilangkan peluang masa depanku.
Hubunganku dengan gadis ini semakin baik dan bermakna. Bahkan karena masih satu kota, kebersamaanku dengan Erma lebih banyak ketimbang saat dengan Liya—yang memang tidak pernah ada kebersamaan.
Mengenai Liya, pada kesempatan terakhir kami, dan di puncak keputusasaanku tentang hubungan kami, aku tegaskan kepadanya.
Aku: “Ya sudah lah, lebih baik kamu aku anggap sebagai adik.”
Liya tak membalas, dan kami pun berakhir tanpa kata putus. Itu adalah SMS terakhirku.
***
Minggu yang cerah...
Hari minggu kali ini aku berangkat kerja dengan hitungan lembur. Lumayanlah dari pada bermalasan tak produktif di rumah, lebih baik santai di tempat kerja dan tetap meraup rejeki. Sebab orderan hari ini, seharusnya untuk jatah produksi hari Senin. Maka jam sepuluh pagi aku sudah ada di tempat kerjaku. Aku keluarkan henfon lalu aku letakan di meja. Tiba-tiba aku kepikiran Erma. Dari pada bengong—karena belum ada yang harus dikerjakan—aku SMS Erma.
Aku: “Pagi Er, lg ngapain?”
Erma: “Lg di rumah aja.”
Aku: “Bosen y?”
Erma: “Bosen si”
Aku: “Ga da acara?”
Erma: “Sbenernya, qw da try out di gedung BPD. Tp ga da kendaraan ni, Mas.”
Aku: “Kasihan… ga da tmn yg bs ditebengin, y?”
Erma: “Yah, klo da si qw dah brangkat Mas, y dahlah, ga sah brangkat aja,”
Aku: “Brangkat lah! tu hal positif lho, sayang klo dilewatin, brangkat ja y, ak yg nganter?”
Erma: “Mas ga sah, takut ngrepotin.”
Aku: “Udah, km siap2, ja!”
Erma: “Ga lah Mas, tkut ngrepotin, bneran g sah!”
Aku: “Ak jemput dmana y, Er?”
Lama tak ada balasan.
Aku sempat berpikir, bahwa ini hanya basa-basinya saja. Sebenarnya, memang tak ada yang namanya try out, atau mungkin memang dia tidak tertarik untuk berangkat. Yah sudah lah, toh tak ada ruginya buatkku. Saat aku sudah menyerah, tiba-tiba henfonku bergetar.
Erma: “Qw di lapangan besar di sekitar rumahqw y Mas, di jln Sudirman barat. Psti Ms tau.”
Akhirnya, dia membalas. Senyuman pun tak terasa melingkar di wajahku.
Aku: “Sip… y lapangan itu, ak tau. Y dah km siap2 ja!”
Erma: “Y Mas… qw tunggu.”
Akhirnya, di waktu istirahat siang, aku keluar. Di meja admin sedang berdiri Mbak Riya, istri Mas Basuki sang Manajer, dan Mbak Trias yang sedang duduk. Hari ini—seperti yang dibilang—memang saat-saat renggang. Pekerjaan yang tidak sepadat seperti hari-hari biasa itu, membuat semuanya berjalan santai.
“Aku keluar makan siang dulu ya, Mbak?”
“Ini sekalian, beli makan buat kalian semua!” kata Mbak Riya sambil menyodorkan uang berwarna biru. Serempak semua menutup mulutnya, sambil cengengesan.
Lagi-lagi aku yang kena, padahal tak ada nominal upah OB di slip gajiku. Tapi apa daya.
“Beli apa ini, Mbak?” tanyaku sungkan.
“Terserah maunya apa.” Lanjutnya memasrahkan semuanya kepadaku.
Aku kepikiran nasi padang, dan sepertinya tak akan ada yang nolak.