Mimpi - Gadis Berkerudung Merah Muda

Imron Mochammad Alghufara
Chapter #9

BERTAMU

Malam Jumat...

SEPERTI yang sudah direncanakan semalam, setelah pulang kerja, aku bersiap-siap ke rumah Erma. Aku sudah tahu perempatan jalan yang mengarah ke rumahnya, dan jalan sempit ke rumahnya sudah ada dalam bayanganku. Aku segera berangkat, dan melaju dengan cepat hingga sampai di perempatan jalan tempat perhentian pertama kali, saat aku mengantar Erma. Kata Erma dari perempatan itu belok kanan, hingga menemui jembatan sungai kecil, dari situ belok kiri. Aku turuti navigasi Erma itu sampai ke jalan kiri jembatan. Tapi, bayanganku mulai buntu di situ. Prediksiku salah tentang rumah Erma, saat pertama kali mengantarnya. Aku mengira rumah yang berwarna hijau tepat di turunan jalan menuju jembatan, ternyata lebih jauh lagi ke bawah, sampai jembatan dan belok kiri lebih dalam lagi menelusuri pinggiran kali. 

Aku menghentikan motorku di depan rumah berwarna biru, dan aku telfon Erma. 

Aku: “Er… aku sudah di depan ni.” 

Erma: “Di depan mana?”

Aku: “Aku di depan rumah yang biru.” 

Erma: “Bukan yang itu, Mas! Lebih dalam lagi masuk gangnya!”

Aku: “… yang mana si, Er?”

Erma: “Bentar aku keluar.”

Tiba-tiba ada bayangan gelap di ujung jalan. Erma sudah berdiri di tikungan, beberapa meter, tepat di depan tempat berhentiku, di pinggir sungai kecil. Dengan canggung dan sedikit resah, dia memberi aba-aba, seperti berkata dalam isyarat, ‘bukan itu, tapi lewat sini’. 

Aku tersenyum, kemudian aku matikan henfon, lalu turun dari motor dan akan memarkir motorku di tempat itu saja. Tapi Erma memotong, “Mas, masuk sini aja, di situ sepi. Depan rumahku aja!” 

Aku mengangguk, lalu menuntun motorku dengan pelan. Suasananya memang mirip kuburan, sepi sekali. 

Tak lama, sampailah aku di jalur rumah deret. Kemudian, setelah beberapa rumah terlampaui, tiba-tiba terlihatlah rumah yang sangat sederhana bertengger lesu di depan mataku, di mana Erma menghentikan langkahnya dan memasuki pintunya. Kalau yang kulihat adalah rumah Erma, aku tak bisa menepati janjiku pada Erma, untuk tidak kaget melihat rumahnya. Di saat pembangunan di kota ini pesat, masih saja ada rumah yang masih beralaskan tanah. Sangat kontras terlihat berjejer dengan tetangga-tetangganya yang sudah bergedung dan berlantai keramik. Hatiku terenyuh, dan bukan bermaksud merendahkan, tapi prihatin dan iba. Meskipun rumahku tak mewah, tapi setidaknya aku bisa tidur nyaman dan bisa bertelanjang kaki di dalam rumah. 

Aku tak menyangka, Erma—yang genit dan sering berdandan layaknya anak sekolah yang punya modal untuk gaya—ternyata memiliki background kehidupan yang tidak menyenangkan dan sangat sederhana sekali. Meskipun dia terbatas, tapi dia seakan ingin keluar dari keterbatasannya itu, dengan cara apapun. Hal itulah yang merasuk ke dalam hatiku; mengajakku untuk mengerti dan memahaminya, sekaligus bertanya-tanya. Kemudian timbul empati yang begitu dalam, di benakku.

Suasana dibuat senyaman mungkin. Erma berdandan, dan sepertinya dia memakai baju terbaiknya, malam ini. Sementara, aku terlihat sangat casual dan santai.

Kemudian, dengan separuh canggung, dia menegurku.

“Silahkan duduk, Mas!” Aku mengangguk, lalu mendudukkan bokongku di kursi yang sepertinya sudah ratusan tahun tidak diganti, sampai berbunyi seperti orang asma. 

“Inilah rumahku, Mas.” 

“Hebat ya… kamu sudah punya rumah. Aku saja masih numpang di rumah orangtua,” ledekku. 

“Eh… maksudnya rumah orangtuaku,” dia memotong cepat, sambil tertawa. 

Aku mengangguk-angguk sambil berkeliling memandang sekitar. 

“Oia, mau minum apa, Mas?” tanya Erma. 

“Air putih aja, Er. Kalau ada!”

Lihat selengkapnya