ERMA masih sekolah di SMK swasta. Tak sampai satu semester lagi, dia lulus dari sekolah itu. Artinya, beberapa bulan lagi adalah detik-detik kelulusan Erma. Aku senang mendengarnya.
Setelah kedoknya terbuka dan aku tahu sisi real dari seorang Erma, membuatnya semakin terbuka denganku. Gadis sederhana yang genit dan penuh ambisi ini pun tak malu-malu cerita tentang bagaimana kondisinya di sekolah; bagaimana dia sering kebingungan kalau sudah memasuki musim ujian. Uang bulanannya kadang nunggak sampai satu semester, bahkan kadang orangtuanya harus cari hutangan sana sini untuk menutupinya. Miris sekali. Meskipun orang tuaku tidak semampu orang kaya, tapi alhamdulillah tak pernah sekalipun aku sampai nunggak uang SPP, hanya saja aku yang kurang memanfaatkannya dengan maksimal.
Bukan hanya iba dan simpati, namun aku merasa kalah didikan kehidupan dari Tuhan, dibanding dengan Erma dan keluarganya, juga semua orang yang mengalami nasib serupa. Menurutku mereka adalah orang-orang hebat dan kuat.
Dunia ibarat taman belajar, orang-orang yang banyak mengalami masalah dan prahara hidup itulah yang banyak menimba ilmu dari kehidupan ini. Ijazah mereka akan terlihat di Loh Ma’fuz.
Ketika semua terasa berat, aku hanya bisa menenangkannya, sembari memberi kicauan yang indah-indah kepada Gadis Pinggir Kali itu. Aku ingin membantunya secara pantas. Namun, seperti manusia normal lainnya, Erma pun berkali-kali menolak menerima bantuan dariku.
***
Pagi ini aku bangun pagi. Bukan karena malaikat sedang hinggap dalam jiwaku seperti beberapa tahun lalu, tapi oleh bunyi bising yang semakin lama semakin keras. Pagi-pagi sekali, henfonku berdering, ternyata SMS dari Erma.
Erma: “Mas, bisa anterin qw ke skul ga?”
Dengan agak malas, dan hanya bingung—sebab tumben-tumbenan Erma minta diantar ke sekolah—aku balas SMS Erma.