Sepertinya semua yang kulakukan sia-sia. Dia memang sedang dijauhkan dari hidupku. Semua tanda-tanda itu satu persatu dilepaskan darinya.
BULAN JUNI sudah datang, dan Erma sudah mengikuti ujian Nasional. Sekarang, adalah masa-masa kosong dan detik-detik penantiannya untuk tiga tahun perjuangannya.
Dalam hari-hari kosong ini, Erma sibuk mempersiapkan segala yang berhubungan dengan perpisahan dan beberapa agenda masa depannya. Satu hal yang sedikit menambah keyakinanku tentang Erma, adalah Piama berwarna merah muda, yang dia beli untuk keperluan pemotretan Buku Kenangan di sekolahnya. Saat ini, warna merah muda seakan betebaran di sekeliling Erma. Paling tidak ada warna merah muda yang lebih besar dari sekedar Kertas Kartu Ujian dan lebih besar dari pada warna kaosnya Liya.
Namun, itu sepertinya tidak berarti banyak. Hal-hal yang aku takutkan satu persatu malah benar-benar terjadi. Beberapa kemungkinan terbesarnya adalah Erma benar-benar akan meninggalkan Indonesia dan merantau ke negeri Siti Nurhalizah itu awal Agustus nanti. Biduan orkes dangdut yang kini sudah berkerudung itu sudah pasti akan hilang di balik kabut.
Sepertinya, ketika semua terasa sudah semakin jelas, satu persatu hendak dijauhkan dariku. Tapi, aku tak boleh egois! Semua pasti sudah ada jalannya. Hanya persiapan sabar yang akan membantu penantianku kepada janji mimpi itu.
***
Untuk mengisi liburannya, Erma bekerja di sebuah toko laundry yang berada di daerah Dukuh-Waluh. Daerah itu sangat jauh dari rumahnya, dan bila naik kendaraan umum akan memakan banyak biaya, bahkan gaji sebulannya pun mungkin tidak cukup untuk menutup uang transportnya. Mendengar keadaan itu aku berinisiatif meminjamkan motorku untuk keperluannya sehari-hari, asal dia mau mengantar jemput aku kerja.
Hanya satu bulan dia bertahan kerja di jasa laundry itu, karena dia diterima kerja lagi di sebuah toko accessories gaulnya anak muda yang cukup populer di kalangan anak-anak sekolah, dan posisinya di laundry, digantikan oleh kakaknya yang slebor. Sepertinya dia giat mencari kesibukan dan aku senang melihatnya nyaman bekerja di negaranya sendiri. Semoga kepergiannya ke Malaysia terabaikan oleh kesibukan di tanah air.
Meski itu membuat hatiku sedikit lega, tapi semenjak Erma bekerja di toko accessories itu, penampilannya menjadi terbuka. Hijab tidak pernah dipakai lagi dan gaya hidupnya yang glamor dulu, kini kembali dijalaninya. Nongkrong di pinggir jalan dengan anak-anak motor dilakukannya lagi. Bahkan satu kali, dia memakai rok mini ketat ketika menjemputku dan berani membentakku ketika aku mengomentari pakaiannya itu. Sepertinya takdir Erma ingin menjauhkannya dari semua yang berhubungan dengan mimpiku.
***
Malam ini aku masih di kantor, menunggu jemputan dari Erma, karena memang setiap hari motorku dipakai Erma untuk berangkat kerja. Switter coklat melekat di badan dan celanaku sudah berganti pendek. Sekarang kerjaanku hampir selesai.
Erma menelfon tiba-tiba.
“Hallo,”
“Hallo Mas…”
“Ada apa… kamu nangis?”
“Aku jatuh, Mas! waktu nganter pulang Ibu dan Adik dari rumah Mbakku,”
“Apa… ! terus kamu nggak papa, kan?”
“Nggak papa, Mas…”
“Ta… ta… pi motornya Mas rusak...” dia ketakutan sekali.
“Apa… !!” aku kaget dalam hati, tapi cepat menenangkan diri.
“Ya udahlah, yang penting kamu nggak papa… Ibu sama adikmu gimana, Er?”
“Alhamdulillah… nggak papa… cuman agak syok aja, Mas…”
“Syukurlah kalau nggak papa... kamu di mana?”