Mimpi - Gadis Berkerudung Merah Muda

Imron Mochammad Alghufara
Chapter #18

INI SEPERTI KUTUKAN

WALAUPUN motorku cacat karena Erma, tapi aku tak pernah kapok meminjaminya lagi. Meski semakin hari kelakuannya semakin menjadi-jadi, aku malah menjadi semakin protektif kepadanya. Mungkin aku kawatir Erma akan kembali seperti dulu lagi, yang kacau dan nakal, atau aku memang sudah mulai memberi hati untuk hubungan ini???... atau… dan atau yang lainnya lagi, dengan beribu dugaan yang muncul dari sikapku ini. Yah, otakku sepertinya kembali kacau semenjak kandasnya kisahku dengan Liya. 

Mungkin inilah satu-satunya ungkapan yang tidak pernah aku hiraukan, meski terdengar paling istimewa. Yaitu, ketika aku mempertanyakan arti diriku di mata Erma. Waktu itu malam minggu. Erma sedang jalan dengan temen-temen cowonya, sementara aku masih di tempat kerja, bersama dengan kegalauanku. Ketika aku tanyakan itu, dia menjawab, “Meski tak terhitung laki-laki yang datang kepadaku, dan tak pernah sekalipun terucap kata-kata manis di antara kita, tapi kamu adalah Soulmate-ku, Mas”. Sejak itulah aku seperti membuka hati kepadanya dan ingin meyakinkan diriku untuk berkomitmen, meski lewat kata-kata itu tidak pernah terucap dari mulutku.

***

Hari minggu kali ini, Erma meminta izin akan mengikuti semacam seminar di sekolahnya yang mungkin ada hubungannya dengan keberangkatannya ke Malaysia. Sebelum berangkat kerja, aku sempatkan mampir ke rumahnya. Ternyata Erma sudah menanti-nanti di depan pintu. Aku mengerti gelagatnya. 

“Ya udah, pakai ini!” aku serahkan kunci motorku. 

Erma berpikir panjang, “Enggaklah Mas, aku sama temen aja.” 

“Udah, pakai ini aja!” aku paksa tangannya untuk menerima kunci motorku, “Tapi, antar aku dulu ke tempat kerjaanku!” 

“Tapi kan, ini masih jam sembilan, Mas.” Erma ternyata hafal kalau hari minggu aku masuk jam 10. 

“Oh iya ya hmmm...,” tukasku sambil mikir, “Ya udah, kita cari sarapan dulu aja, yuk!” 

Erma tersenyum, “Ya, Mas, ayo… !” lalu menyodorkan kunci motor itu di depan mataku, “Eit... tapi Mas yang depan, dong!” 

Aku tersenyum sambil menerima kunci itu, “Iya deh... ayo… !” 

Sekitar beberapa menit, kami berkeliling mencari sarapan. Akhirnya aku menghentikan motorku di dekat alun-alun sebelah selatan tugu pertigaan. Di situ ada berderet penjual nasi kuning dan bubur ayam. 

“Kamu mau apa...?” tanyaku. 

“Apa aja deh, Mas.” 

“Bubur ayam aja, ya… !” 

Erma mengangguk sambil tersenyum. Kemudian, seorang bapak setengah baya, tiba-tiba menegur kami. 

“Monggoh, Mas… ! ”

“Bubur ayam kalih nggih, Pak(21)!” 

“Iya, Mas. Pedes nopo mboten(22)?“ tanyanya lagi

Aku berpaling ke Erma, “Kamu pedes?” 

Erma mengangguk. 

“Iya, pedes semua, Pak,” kataku. 

Tak lama, dua mangkuk bubur ayam hangat sudah terhidang di hadapan kami. 

Unjukane nopo , Mas(23)?” tukas bapak penjual bubur ayam itu lagi. 

Teh anget mawon, Pak(24)! ”

Sambil menikmati sarapan, kami bercanda tawa. Kami menikmati pagi yang dingin ini dengan hati yang damai. Aku sempatkan memandangi lesung pipi di dalam senyumnya dan mencuri pandang setiap lirik tatapannya. 

“Mas, aku dah kenyang.” Erma tiba-tiba menghentikan sarapannya. 

Lihat selengkapnya