SEKARANG, Erma benar-benar kembali seperti dulu lagi. Sikap lemah lembutnya dan kerendah hatian selama bersamaku, sepertinya sudah berada di tempat sampah. Beberapa kali aku menghubunginya, tapi selalu sibuk dan SMS-ku jarang dibalas. Setelah Erma kenal dengan Polisi yang menilangnya kemarin dulu, banyak sekali kejanggalan yang mangintari dirinya, seperti ada sesuatu yang disembunyikan. Pengakuannya, bahwa mereka hanya berteman seakan hanya isapan jempol belaka. Sesekali Erma mengangkat telfonku, dia selalu membahas tentang Polisi itu.
Mungkin memang benar, ini kutukan buatku. Setelah beberapa kali menjalin hubungan, Polisi selalu menghentikan perjalananku dan memberiku surat tilang, lalu membawa pergi motorku (baca: Kekasih).
***
Bulan Agustus telah tiba, ini adalah awal dari persiapan Erma untuk berangkat ke Malaysia. Erma bersikeras untuk berangkat, dan menganggap semua hujah-hujahku sebagai suara anjing menggonggong dan keinginannya terus berjalan mulus.
Pagi-pagi sekali, Erma meminta diantar ke kantor agen yang akan memberangkatkannya ke Malaysia. Selama seminggu dia akan diberi seminar dan pelatihan kerja. Aku sebenarnya berat, meski begitu aku tak mau di saat-saat genting perpisahan ini, Erma memusuhiku dan membenciku. Selama beberapa hari aku mengantar dan menjemputnya. Beberapa kali juga, aku masih meminjaminya motor untuk alat tansportasinya.
Malam ini, seperti malam-malam sebelumnya, aku masih di kantor. Pekerjaan di kantor sudah hampir selesai. Tas kecil sudah menggelayut di pundakku, dan sekarang waktunya menjemput Erma.
Tapi sebelum aku keluar pintu, tiba-tiba ada SMS masuk.
Erma: “Mas qw dah da yg jemput.”
Melihat tulisan itu, pikiranku pun jadi kalut, perasaan tak enak berkecambuk, dan akhirnya aku putuskan untuk menelfon dia.
“Hallo, siapa yang jemput?”
“Temen, Mas.”