Agustus 2011...
ERMA sudah jauh di luar negeri, sementara aku masih membusuk di kamar sempitku. Sudah satu minggu lebih aku tidak berangkat kerja, dan sekarang hari-hariku hanya diisi dengan duduk di depan laptop. Sepertinya aku harus mencari suasana baru sebelum aku benar-benar masuk ke liang lahat. Karena kini aku seperti sudah masuk ke dalam peti mati, dan siap dikubur kembali.
Saat ini, aku rindu spirit dari kisah para Nabi. Obsesi liarku tentang spiritualitas para nabi, yang dulu telah membuatku seperti orang yang kurang waras, ku coba buka kembali. Software dan E-book zaman bahoula yang masih tersimpan pun mulai kubaca-baca lagi, sampai penat mendatangiku.
Folder ‘Movie’ di Local Disc D pun mengalihkanku dari kepenatan itu. Kemudian dengan cepat kubuka, dan mendadak aku ingin memutar Film “The Passion of Christ”, karya aktor kawakan Mel Gibson, yang sudah lama sekali tersimpan di folder itu. Film yang mengisahkan kesabaran Yeshua ‘Anzareth’ (Nabi Isa) dalam berdakwah memerangi otoritas dzalim para imam Yehudaeah (Bani Israel) ini, memang film favoritku sejak ditayangkan di sebuah televisi swasta pada liburan Paskah beberapa tahun silam. Ini memang bukan film dari kalanganku, tapi ‘bagiku’ ini cukup logis dan bisa ditonton oleh segala kalangan termasuk mata pikiran bebasku.
Film ini—yang dialognya memakai empat bahasa asli yang ada di Palestina zaman itu (Abad 1 Masehi), yaitu: Latin, Yunani, Aram-Ibrani (Arab kuno) dan Ibrani Classic (Bahasa Taurat)—seperti memaparkan semua penafsiranku tentang Nabi Bani Israil yang satu ini.
Sekarang aku harus belajar kepada Nabi Isa—yang dalam kezuhudannya—beliau malah mendapatkan seorang syarmutal(27) sekaliber Maryam Magdalena, yaitu, sosok yang dalam novel “Da Vinci Code,” (karya Dan Brown) adalah wanita yang memberi Nabi Isa keturunan, selain Lydia dalam sumber lain. Wallahu a’lam bi Sawab.
Dalam kesyahduanku menikmati film ini, di kamar atas, tiba-tiba seorang laki-laki paruh baya yang berkulit hitam dan berkumis tebal menyembul dari tangga penghubung ke lantai dua ini. Dia adalah Om Janni, seorang Manajer sekaligus Koordinator sebuah Proyek Villa di Bali.
Aku hentikan dulu film yang kutonton. Akhirnya Om Janni masuk ke kamar, bersama anaknya yang berbadan tambun, yang bernama Babaz. Lalu mereka perlahan duduk sambil cengar-cengir, lalu berebah dan bersantai.
“Eh Om Janni, sini, Om! sini Baaz!” sambutku.
“Lagi ngapain kamu, Bi?” kata Om Janni.
“Ini lagi iseng… main laptop, Om,” kataku.
“Oh…” balasnya sambil memeriksa, apa yang sebenarnya sedang aku sibukkan dengan laptopku. Tapi, aku langsung close semua yang tadi terbuka, karena ini sangat privasi.
Ada keheningan sementara, lalu Om Janni mulai terlihat serius, “Oh iya... denger-denger kamu berhenti kerja di tempatnya Basuki, ya?”