SETELAH bermalam semalam di perjalanan, bus akhirnya sampai di Pelabuhan Ketapang, di Banyuwangi—Jawa Timur. Perjalanan yang cukup melelahkan, sampai pantatku berasa terbakar.
Setelah seharian kemarin dimanjakan dengan pemandangan segar dan baru—semenjak memasuki kota-kota kecil Jawa tengah, hingga Jogja, sampai ke kota-kota asing di Jawa timur—kini pemandangan laut sudah terpampang di depan mata.
Sekarang bus akan mencari feri untuk menyeberang ke Pulau Bali. Huh, sungguh sebuah terapi psykologis yang sangat menyegarkan.
Beberapa menit berlalu. Tak terasa, bus sudah berada di kapal feri. Aku yang memiliki HB rendah, sudah mulai sedikit merasakan gelombang ingin muntah, dan mulai mencari obat anti mabuk. Sebenarnya ini adalah puncaknya, karena hal itu sudah dirasakan semenjak bus masuk ke beberapa kota di Jawa Timur. Setelah menenggak obat, aku naik ke bagian atas kapal, sambil menikmati atmosfernya. Meskipun perut tak karuan, tapi di atas lumayan segar udaranya.
'Aku bukan hanya keluar dari peti mati, dan bangkit kembali, tapi aku sudah keluar dari gerbang kuburan.'
Entah mengapa! atmosfer alam bawah sadarku mengantarkanku untuk memikirkan tentang Para Hyang-an. Mungkin karena akrab dengan bacaan keagamaan dan sejarah, jadi alam imajinasiku terhiasi oleh segala inspirasi tentang hal-hal spirituil. Apakah atmosfer pulau Dewata sudah benar-benar sampai di sini, atau pengaruhnya sudah menyebar?Memang, pagi ini benar-benar membebaskanku dari segalanya. Sekarang, aku merasa menjadi manusia seutuhnya, setidaknya sebagai manusia yang hidup dan bernafas dengan bebas. Betapa tidak, langit pagi seakan sedang bercerita tentang manis pahit yang sedang ditertawakannya, yakni tentang kehidupan, seakan menganggap itu sebuah lelucon konyol. Batinku senang sekaligus tenang. Kehidupan memang syarat dengan suka dan duka, tapi kita harus tetap bertahan menghadapinya. Dan sosok “Gadis Berkerudung Merah Muda”, muncul membentuk bayangan di langit pulau dewata. Dialah penyemangat harapanku.
Dewata seperti sudah melambai-lambai di langit pulaunya di ufuk timur selat Bali. Seakan menyambutku bersama ribuan makhluk cahaya, dan juga antara cahaya pemulihan dan penghancuran hatiku…
Pemandangan langit dan samudera yang menyatu dalam garis horisontal mengalihkan konsentrasi mabukku. Satu jam kemudian, kami sudah diperintahkan untuk kembali ke bus. Kami diantar keluar, dan masuk jembatan translit. Tiba-tiba Roman mengambil dompet, dan berpaling kepadaku, lalu mengutak-utik dompetnya.
“Siapkan dompet, Bi!” suruh Roman.
“Dompet? Buat apa, Rom?” Aku baru sadar, bahwa bus sudah setengah kosong. Dan langsung berkeliling pandang, mencari saku celana belakang.
Roman berpaling lagi, “KTP, Bi... ?”
Lalu aku mulai meraba bokongku, sambil jantung berdegup, karena aku tak yakin sudah membawa semua yang seharusnya selalu ada di dompet.
“Buat apa sih...?” lagi kataku lugu. Masih belum menemukan apa-apa di saku belakang celana.