Mimpi - Gadis Berkerudung Merah Muda

Imron Mochammad Alghufara
Chapter #26

SELAMAT DATANG JIMBARAN

BUS yang diparkir di punggung jalan desaku, sekarang sudah berlenggang menelusuri sebuah jalan di desa adat Jimbaran-Badung, pulau Bali, setelah sebelumnya naik bukit, dengan cadas-cadas raksasa di pinggir-pinggirnya. 

Setelah bus bersuit, tanda rem dan berhenti, aku raih jaket dan tasku lalu berancang keluar. Ada banyak bus proyek dari berbagai kota yang berhenti membujur, yang sebenarnya sudah jalan beriringan semenjak di Jogja tadi. Kami turun di depan sebuah jalan masuk kecil, kemudian kami berjalan memasuki sebuah gang lalu masuk ke area yang penuh debu, dan terus menelusuri koridor sumpak, yaitu jalur menuju area proyek, yang masih rimbun dengan pohon-pohon bambu mini yang kering. Terlihat banyak sapi merah yang dibiarkan berkeliaran, entah ada pemiliknya atau tidak. Maka, dengan cepat area itu dipenuhi manusia.

Tempat itu kotor dan kering. Di pinggir temboknya ada rumah-rumah dari triplek, mungkin itulah yang disebut bedeng. Roman sering cerita tentang rumah seperti itu, bersama kisah penderitaannya tinggal di dalamnya. Mungkin aku juga akan mengalaminya sebentar lagi.

Lalu aku masuk ke rumah triplek milik para engineer dan mekanis, berkumpul bersama orang-orang yang satu bus denganku, dan aku selalu berada di dekat Roman. Karena yang lain terlihat asing; tampangnya sangar-sangar dan bengis, banyak yang bertato pula. Botol miras tertata di sudut-sudut kamar, bersama kotak bungkus kartu remi.

Perasaan canggung dan risih menggelayuti, meski perasaan senang pun tersembunyi dan ingin segera dikeluarkan. Kemudian aku lepas jaketku dan kutaruh tasku di dekat tas Roman, dan setelah itu aku bingung harus ngapain. Aku seperti baru masuk ke lingkungan lapas, kayak yang di film-film.

 Seketika ada geraman motor terdengar dari jauh, bergerak cepat ke arah kami, yang ternyata itu adalah Om Janni. “Mana Abi... ?“ teriaknya.

“Ya, saya...,” balasku, sambil beranjak dan angkat tangan.

“Kamu ikut saya!” katanya, lalu berbisik, “Kamu ikut Staff Kantor, jadi di mes kantor, bukan di sini!”

“Ya...,” kataku sambil ngambil tasku, lalu Om Janni membawaku ke jalur yang tadi dilalui, dan masuk ke area pekarangan; yang di tengah-tengahnya ada sebuah tugu , dan ada kandang kera menempel di pohon kelesem. Tidak seperti di area proyek tadi, di sini ada rumah batako yang masih telanjang di timur sebuah tugu, dan ada rumah kost tembok yang sepertinya lumayan nyaman untuk ditinggali. Kulihat ada empat kamar dan terasnya memanjang berlantai batu palimanan kuning, kurasa. Juga di belakang rumah ada lapangan Badminton yang kumuh, tapi masih ada jaring netnya. Area itu dikelilingi oleh hutan kalba dan jati. 

“Bi, bawa tasmu ke kamar Om, ya!” Om Janni mengintruksikan kamar mana yang harus kutuju. Ternyata kamar paling luar, yang paling dekat dengan gerbang dan kamar mandi. 

Di kamar itulah, aku akan tinggal bersama Om Janni dan satu orang lagi yang katanya dari Lombok. Ternyata kamarnya sempit—tak kalah sempitnya dibandingkan kamar Putra—dan ukuran tempat tidurnya hanya cukup untuk dua orang, sudah pasti aku yang akan tidur di karpet. 

Ada TV 20” di sebuah bufet kayu berwarna natural, di hadapan pintu. Lumayan, buat hiburan. 

“Hesss...” aku hela nafas, bagaimanapun ini lebih nyaman dari tempat tadi, meski lebih sempit. 

“Taro di situ aja, Bi!! di lemari bufet!” kata Om Janni, ketika mengetahui lagak kebingunganku menenteng tas ranselku. 

Aku mengangguk, sambil meletakkan tas dan langsung membuka resleting tasku.

“Kalau kamu lapar, itu ada mie instan, dan roti tawar! Kamu bisa memasak mienya dengan teko listrik.”

“Iya, Om...” jawabku sungkan. 

“Oh iya... Om mau ke proyek dulu ya, ada urusan.”

Aku mengangguk.

Lihat selengkapnya