Mimpi - Gadis Berkerudung Merah Muda

Imron Mochammad Alghufara
Chapter #27

GADIS BALI

AKU mengelilingkan pandanganku, memeriksa ruangan tempat kerjaku. Keasyikan yang ditawarkan Om Janni ternyata tidak semua terbukti. Ini lebih mirip kuburan ketimbang tempat untuk mencari penghidupan; tidak ada koneksi internet atau kenyamanan tempat kerja yang terbayangkan sebelumnya. Meskipun mungkin aku bisa merenungi kehidupan di tempat ini.

Kesibukan proyek yang bersemangat tidak terdengar menggebu-gebu seperti bayanganku, mereka bergerak dalam senyap yang teredam sekat tembok-tembok. Tempat ini seperti terasing, hanya satu perangkat komputer butut serta ruangan pengap nan sunyi yang mungkin bisa memberi sedikit warna, mengingat bebatuan kapur yang menumpuk di sekeliling gudang. Meskipun Darse yang berkulit gelap, kadang bisa memecah kesunyian. Seorang Bali yang mungkin paling hitam di antara orang Bali pada umumnya, karena dia berdarah Kupang, NTT.

… krisna… oh krisna…

… hitam… oh hitam…

Tanah dewata ini sepertinya banyak menyuguhkan terapi batin untukku, dan aku cukup menikmatinya. Banyak insting budaya purba yang dulu mungkin berada di Jawa, sekarang masih dilestarikan di sini; membuatku merasa hidup di zaman Majapahit. 

Sekarang aku sudah terbiasa dengan aroma dupa yang dibakar di depan pintu gudang dan kantor, setia pagi. Meski aku tidak menganggapnya sebuah kebiasaan suci, tapi aku nyaman dengan atmosfernya. Kadang aku iseng ambil permen sesajinya, mengikuti kebiasaan si Darse. Hal itu ternyata menggugurkan anggapanku tentang orang Bali yang menurutku konservatif; yang menghayati setiap tradisinya dengan kusyu. Tapi, ternyata ada sosok yang seperti Wayan Darse, yang bahkan di Hari Raya Nyepi, manusia hitam ini berani keluyuran, dan hampir mati terkena teluh Leak Barak.

“Yah, beginilah Bali,” katanya. 

“Orangnya ramah…,” kataku. 

Darse tertawa, sambil ngambil permen sesaji. 

“Hush… ?” tegurku lugu. 

“Emang, kenapa?”

 “Aku mulai nggak enak sama meme yang setiap pagi bawain ini. Ini kan buat dewamu, Bli?”

Darse tersenyum dan menggeleng, “Nggak papa lah Bi… hehe… ambil ayoo…!”

“Ooh…” sambil berat hati, akhirnya aku ikut ambil permen yang rasa kopi.

“Coba kalau ada ayam satu body, pasti yahud nih.”

“Emang biasanya ada ya, Bli?”

“Ada, kalau hari raya besar kantor biasanya dikasih sesaji besar, dan kalianlah yang biasa makan,” ungkapnya tertawa.

“Hehe, itu kan buat dewa, kok kita yang makan ya?” candaku. 

Darse tertawa lagi, “Hess...” dia menghela, lalu tertawa lagi. 

Jam menunjukkan Pukul 17:00 WITA. Kerjaanku di hari ini pun sepertinya harus diakhiri. Darse tiba-tiba menghentakkan badannya, setelah melihat jam di HP-nya. 

“Yaha, yo kita pulang!” tukasnya, sambil meraup kunci dan gembok besar.   

Bergegas aku mulai membereskan yang berantakan, dan bersiap menutup gudang dan pulang ke mes. Si Darse sudah bersiap-siap dengan motor bututnya.

“Woi, Bli, sekalian ya!” senyumku mengiba.

“Yah kamu… nebeng aja kerjaanmu, Bi!” candanya.

“Sampe mes aja lah, Bli!” 

“Iya… iya… ayo dah, naik!”

Bringgggg… bringggggg…

Sampai di gerbang mes, Darse tiba-tiba berbisik-bisik tak jelas, dengan logat Balinya. 

“Hei Bi… siapa tu? Bi… Bi… siapa itu?”

“Apaan si?… Mana?… Siapa?” sontak aku clingukan.

Seorang cewe ternyata sedang memata-matai kami dari balik tembok proyek sebelah, tepat di depan gerbang mes. Pandangannya malu-malu, dan ada senyuman manis dengan lesung pipi. Kulitnya eksotis, coklat kekuningan khas Bali. Jujur, aku baru melihat cewe yang sedikit lumayan semenjak datang ke tempat ini.

“Nggak tahu...” kataku cuek, tapi tetap membalas senyuman ramah itu. 

“Bi... Bi... senyumannya manis juga tuh, kayaknya buat aku tuh, Bi!” 

“Hahah, ngarep kamu, Bli!”

“Kalau bukan buatku… ya buat kamu lah. Kok aku baru liat ya!”  

“Salah sendiri! Kamu terlalu fokus sama meme-meme yang di proyek, jadi nggak tau banyak gadis di sini,” kataku, sambil menggaruk kepala,

"Ah, sialan kamu, Bi," sewotnya, "Bukannya kamu yang sering godain mereka," lanjutnya berlagak pegang perutku, tapi aku tangkis dengan jurus tangkisan mampus..

“Au ah... ” elakku.

“Eh kamu bener-bener nggak tahu cewe itu?” kata Darse masih penasaran, sambil mencoba mencuri senyum cewe itu. 

“Mmmm… mungkin dia anak yang punya warung di proyek sebelah, Bli,” ujarku, “Denger-denger emang ada warung di sebelah yang ada cewe-cewenya.”

Lihat selengkapnya