Mimpi - Gadis Berkerudung Merah Muda

Imron Mochammad Alghufara
Chapter #29

GADIS ANGGUN

WISNU adalah anak seorang pemborong batu di proyek. Dia adalah salah satu dari dua anak rese yang duduk di belakang jok bus waktu pertama kali berangkat ke Bali dulu. Tapi sekarang kami bersahabat. 

Malam ini seperti biasa, Wisnu —yang suka kehidupan bebas—mengajakku turun bukit untuk mencoba menarikku ke jurang 'kebiasaannya', meski usahanya selalu gagal; tempat main billyard, dan berfoya-foya dengan segala kemaksiatan adalah tawarannya.

Di kampung, dia memang seperti kepala dunia mavia 'eclekemen' yang menguasai lahan-lahan parkir strategis, dan membawahi gadis-gadis panggilan di kota kami. Karena ayahnyalah, dia rela meninggalkan semua itu untuk bekerja kasar di Bali—meski kadang lebih mirip tamasya dari pada bekerja. Tapi, aku menyukai loyalitasnya sebagai teman.

Untuk kesekian kalinya, aku harus mengecewakannya. Bir dan arak selalu saja dihabiskan sendiri oleh Wisnu. Walau kadang aku harus merogoh kocek untuk mabuknya itu. 

Mata Wisnu sudah merah, dan aku harus naik bukit lagi, setelah puas menikmati pantai di sore hari. 

Setelah sampai di gerbang masuk, yaitu di koridor awal Villa, kami berniat untuk mampir ke warungnya Komang, untuk beli rokok dan susu. 

Aku menyembul dari pintu sebelah kiri, dan kebetulan warung sedang tidak ramai, akhirnya aku dudukkan bokongku di bangku kayu yang setengah lapuk. Di situ sudah ada seorang gadis yang memakai baju adat Bali berwarna biru gelap keunguan, dengan payet-payet cantik. 

“Rokok, Mbo’!” kataku, yang sudah terbiasa dengan sapaan feminim Bali, “Sama susu vanillanya, yang sachet aja ya, Mbo’.”

Gadis itu berlenggang anggun, dan aroma melati menyerebak di sekelilingnya. 'Ya ampun, ingat Liya, Bi!’ kataku dalam hati. 

“Apa lagi, Mas?” kata gadis itu. 

“Udah itu aja,” kataku sambil mencari bahan untuk ngobrol, “Kadek, kok sepi?”

Untuk sesaat gadis itu hanya menatap heran, “Kadek kan?” lanjutku menegaskan, itu adalah gadis dalam foto di henfon Komang.

 “Hehe… iya... ni pasti Mas Abi?” 

Sekarang gantian, aku yang keheranan. Pasti Komang sama Ketut yang heboh, sampai Kadek tahu namaku. 

“Komang sama Ketut mana?” tanyaku sambil celingukan.  

“Kalau mereka di rumah, Mas.” 

“Oh… eh kamu nggak takut apa, sendirian di tengah-tengah proyek?” 

“Takut kenapa? mereka orang-orang baik kok, Mas. Meski memang kadang ada yang kata-katanya tidak senonoh. Tapi, itu cuma sebatas kata-kata saja, kok. Kalau memang ada yang berpikiran kurang ajar, sebaiknya urungkan niat itu. Jangan sampai deh, Mas!” 

“Oh.. gitu ya,” sambil mengagumi keberanian gadis ini. Aku paham yang Kadek maksud.

Wisnu yang setengah mabuk masih sanggup mendengar pembicaraan kami, dan sempat terpukau. 

“Siapa dia, Bi?” katanya. 

“Kadek, anak yang punya warung,” bisikku. 

“Cantik juga ya, Bi. Lebih cantik dari pada Komang.” 

“Ya tergantung,” kataku lirih, teringat Liya, “Kalau buatku sih, nggak ada yang ngalahin kecantikan orang yang mencintaiku!”

Wisnu tertawa geli mendengar kata-kataku itu, sambil mencoba menempeleng kepalaku dengan tenaga yang hampir habis, tapi aku menghindar.

“Gayamu, Bi!” katanya teler. 

“Lagian dia udah punya pacar, Bro,” tukasku, “Anak kuliahan.”

“Oh …,” Wisnu mlongo, lalu memetik api dan menyulut rokok, busss… buss…

Kami berancang beranjak dari warung, tapi Kadek berlagak aneh. 

“Masih sore, nongkrong dulu aja di sini. Nemenin aku!” 

Kata-katanya yang mesra pun berhasil membuat kami terpatri.

Lihat selengkapnya