MALAM MINGGU itu pun berlalu. Namun, dada masih sesak, dan kegalauan yang tak bertenaga pun masih menggelayuti suasana hatiku, pagi ini. Sudah beberapa hari aku dihantui oleh bayangan Liya yang seperti awan pekat dan hitam, seperti coklat yang meleleh namun tak pernah bisa aku nikmati. Hingga tiba saat kepulangan tiga bulan.
Semua rombongan dari berbagai daerah telah bersiap-siap berangkat, tapi aku tetap menginginkan membusuk di Bali, bersama bayang-bayang Liya yang semakin melumat kegalauanku.
Beberapa lama, area proyek pun telah sepi, tinggal beberapa orang di situ. Roman pun ikut bersama rombongan bus ke Purwokerto, untuk menemui pacarnya yang sudah berhari-hari ingin ditemuinya dan mungkin akan bersenang-senang di malam tahun baru nanti. Sementara aku harus menikmati kesepian ini, bersama nuansa hening dan desiran panas debu-debu proyek.
Malam tahun baru kali ini pun, harus aku lalui di sini, sendiri.
Di mes kantor, hanya ada Herudin si orang Lombok. Dialah yang berkali-kali menawariku ongkos untuk pulang, tapi aku berkali-kali menolaknya.
Gendon adalah satu-satunya orang Purwokerto yang masih tinggal di mes engineer. Laki-laki yang tubuhnya dipenuhi tato ini, sudah bertahun-tahun tinggal di Bali. Selain di proyek sebagai instalator listrik, dia juga kerap bekerja sebagai guide dan kadang sebagai rent surving di pantai Kuta. Tapi, semenjak ada razia saat ada fenomena cowboy, dia lebih sering tinggal di proyek; bekerja kasar tanpa bir dan tanpa cewe-cewe bule. Sebab, dia pernah kena razia pecalang, meski berhasil lolos.
Sekarang, aku jadi sering tinggal di mes engineer, dan bertambah akrab dengan Gendon.
“Kalau kamu mau makan bilang aja, Bro,” kata Gendon, “Aku udah nanak nasi, tapi nggak masak. Kamu beli aja mie instan di warung Bu Gendut, trus nasinya ambil aja itu.”
“Oke, santai aja, Bro.”
“Punya rokok?” katanya.
Aku mengangguk dan menyodorkan sebungkus rokok mild.
“Ni, Bro...!”
“Sori ya aku minta dulu, he...,” tukas tengil cowok bertampang nyentrik dengan anting-anting gotik berdiameter satu centi itu.
“Santai aja, Bro...”
“Sepertinya kamu bisa buat teman; buat brayan di perantauan. Lebih mending daripada saudaramu.”
“Roman? Oh ya, kenapa dengan dia?”
Gendon cuman nyengir sedikit, tanpa menjawab. Lalu, aku ambil gitar dan memainkannya; genjrang-genjreng lagu To Be With You, milik Mr. Big.
Tiba-tiba ada suara motor dari luar.
“Siapa itu, Bro?”
“Robi... temenku,” kata Gendon sambil beranjak.
Aku mengerlikkan mataku dari balik jendela, memeriksa. Ada sesosok laki-laki yang penampilannya tak jauh beda dengan Gendon; penuh tato dan gambarnya lebih parah, sampai leher. Sepertinya dia juga pemakai, atau mantan pemakai. Badannya kurus kering, matanya sayu, dan mukanya pucat. Mereka duduk di teras, dan aku beranjak bersama gitar, menyembul dari pintu, lalu nimbrung bersama mereka.
“Bi, kie batire nyong, wong Purwokerto bae.” (33)
Aku mengulurkan tangan, “Abi...”
“Robi... !”
"Udah lama di Bali, Mas?” tanyaku.
“Sudah dua tahunan,” katanya.
“Purwokertonya mana?”
“Pereng.”
“Oh... Pereng.” Mendengar nama itu aku jadi teringat pasar Pereng, tempat pertemuan pertamaku dengan Liya. Ya salaam, sesempit inikah dunia. Karena, takut bayang-bayang Liya memekat lagi di otakku, akhirnya aku urungkan untuk membahas tentang Pereng.
“Oh ya... tahun baru pada ke mana, nih?” tanyaku, mudah-mudahan ada acara yang menarik dan bisa menyelamatkanku dari kesepian.