Januari 2012
ATAS desakkan Herudin, aku pun akhirnya mau menerima jatah ongkos kepulanganku. Karena yang sebenarnya adalah desakan dari Om Janni sendiri, aku tak bisa membantah lagi. Lagi pula, sudah hampir seminggu tahun 2012 kulewati di Jimbaran, tanpa satu hal pun yang berarti. Hanya canda riang dari Komang dan Ketut yang selalu menemani, sampai bosan menggelayuti batinku.
Semenjak aku putus dengan Liya, memang hubunganku dengan Komang kembali ceria. Karena tidak ada bayang-bayang Liya, aku pun mencoba dengan leluasanya mencari sinyal-sinyal atau tanda-tanda ‘mimpi’ yang ada di Komang. Siapa tahu tanda itu memang 'ngumpet' di sosok yang terlihat mustahil. Gadis Bali memang sulit, tapi tidak mustahil.
‘Kenapa bukan Kadek?’
Jawabannya adalah, ‘Karena Komang terlalu agresif menghalanginya, jalan akses untuk mendekati Kadek hampir tidak ada. Lagi pula Kadek sudah ada si Konjik!’
'Kenapa Komang?' why not?
Malam ini juga, aku kabari Komang bahwa aku akan pulang, besok. Komang mengirimkan icon tanda sedih dan menangis. Lalu, tidak lama, aku sudah dikagetkan dengan teriakan Herudin,
“Bi, dicariin, tuh!” serunya.
“Siapa?”
“Lihat aja sendiri!”
Aku beranjak dan aku melihat Komang sedang berdiri di depan teras. Dia memakai Kaos yang pernah aku kasih.
“Mas, mau pulang?” katanya dengan mata sedikit berair dan nada yang hampir gemetar.
“Iya, Mang. Besok,” kataku lembut, lalu tertawa mencairkan suasana. “Kamu mau nangis, nangisin aku pergi ya?” candaku.
Komang akhirnya tersenyum, “Ih, enak aja,” tukasnya, sambil menyembunyikan matanya yang berkaca-kaca.
“Mas mau ke sini lagi kan?” lanjutnya.
Aku mengangguk, “Tapi, nggak janji!”
“Ahhhhhh...” Komang menjadi-jadi. Akhirnya ada sedikit tangisan.
“Cup...cup... sudah...sudah....! jangan nangis ah, malu!” kataku. “Jangan nangis, entar aku cubit loh!!”
Malah aku yang dicubit dengan cubitan yang tiada tara sakitnya. Aku teriak sejadi-jadinya.
“Mas, balik lagi ke sini, loh! Harus!” serunya.
“Iya... iya...!!” sambil kesakitan.
Lalu, dia menengadahkan tangannya. Aku kira akan mendoakanku.
“Mana kenang-kenangannya?” cletusnya manyun. “Siapa tahu, Mas nggak datang ke sini lagi!”