Purwokerto - Purbalingga, Januari, 2012.
INI adalah kepulangan pertamaku setelah tiga bulan di Bali. Meski kemarin harus molor—sekitar satu bulan kurang—karena sebuah ‘tragedi hati’ yang ‘tragis bin ironis’. Sebuah buaian sutra halus selama hampir tiga bulan bersama mimpi-mimpi, tapi harus kandas di saat menjelang perjumpaan.
‘Ya sudahlah!’
Wisnu berulang kali SMS aku dengan kata-kata penghiburan dan penyemangat; mungkin lebih tepatnya, mempropagandakan cara keji untuk meraih bahagia. Yaitu, dengan mengajak ke tempat-tempat habitatnya yang ‘glamor’. Bahkan, cowo gengster itu berulang kali menawariku cewe-cewe bayaran sebagai obat pelipur laraku. Tapi, keadaan ternyata masih membimbingku ke jalan yang benar.
Aku tetap bersemangat, meski bayangan Gadis Berkaos Merah Muda sekarang kembali berantakan di hidupku; ‘seperti sebuah buku agenda yang hilang entah kemana, meskipun aku masih ingat jadwal-jadwalnya’.
Sebenarnya aku malas untuk pulang. Kalau bukan Om Janni sendiri yang menyuruhku pulang, aku mungkin masih di Bali.
Sekarang, aku kembali lagi di kamar Putra yang sempit, yang dulu kusebut sebagai peti mati. Tapi, sekarang tidak ada peti mati lagi untuk ruangan ini. Kini, tembok biru segi empat itu adalah kehidupan, karena aku yang sekarang sudah keluar dari gerbang kuburan, dan bersyukur atas kehidupan ini.
Dan... mengenai Liya?
Aku masih berharap dia mau menemuiku, meski hanya sebatas seorang ‘Kenalan atau Teman’, dan ngobrol dari hati ke hati tentang segala hal, supaya aku ada kegiatan positif, di liburanku ini.
Kau yang terbit…
Kau yang tenggelam…
Kau yang laksana Hillal di malam yang muda...
Dan kau juga adalah Sabtu dalam Seminggu…
Siapakah dirimu sebenarnya, wahai bunga Liliku??
Karena kau berbeda dari yang dulu-dulu…
yang menghujam dan berlalu…
Oh… Gadis Berkaos Merah Mudaku…
Kau muncul dan tenggelam...
di setiap waktuku…
Ku Harap Purnamaku…
memancar seterang dirimu….
Akhirnya, di tengah-tengah gundah dan bimbangnya hati, aku turuti hasrat yang menyesakkan ini dengan mulai meraba ranjangku, dimana ada henfon di atasnya, dan aku putuskan untuk SMS Liya.
Aku: “Dhe...” sedikit lama, balasnya.
Liya: “Knapa, Mas?”
Aku: “Mas udah di Pwt”
Liya: “Serius Mas? Truz?”
Aku: “Masa kamu ga kangen?”
Liya: “Hehe”
Aku: “Kok ketawa!!”
Liya: “Ya knapa, Mas?”
Aku: “Aku boleh ke rumah ga?”
Liya: “Boleh ja kok”
Aku: “Beneran??”
Liya: “Ya”
Hati yang kacau seperti kembali tertata. Harapan yang sudah amburadul seakan kembali menyatu, dan pandangan yang sudah oleng seakan berbalik menatap ke depan.
Aku: “Besok aku ke rumah.”
Liya: “Terserah Mas aja.”
Aku: “Insya Allah ya, Dhe.”
Cihuiiiii ... ini benar-benar angin segar...
***
Petang berikutnya, malam pertemuan pertama...
Aku pakai celana pendek baru yang aku beli di terminal Ubung-Denpasar, Bali, dan aku pakai kaos hitam yang aku beli dari komunitas clothing-annya si hitam Darse. Maklum terpengaruh gaya pakaian Gendon si manusia tato, si anak pantai. Aku sengaja berdandan casual, mengingat pertemuan di alun-alun dulu, saat Liya tampil dengan sangat casual, dan berhasil mengecewakanku lahir-bathin.
Awalnya aku ragu dengan semua rencana ini. Aku merasa ini bukan ide yang penting. Tapi, handle gas sudah ditarik, dan motor sudah melaju dengan stabil, meski hati terasa getir. Akhirnya sambil mengikuti kata hati aku arahkan motor ke arah selatan, melewati Jl. Jendral Soedirman, tidak melewati jalur desa, seperti ketika pertemuan kami di alun-alun dulu. Aku tidak yakin jalur ini mengarah ke desanya Liya. Dengan jantung berdebar, aku malah berharap jalur ini memang tidak mengarah ke kampungnya Liya.
Namun, seperti diluar kendali, handle gas terus aku tarik secara stabil, sampai di daerah yang mirip dengan jalan masuk yang dulu pernah ditunjukkan Liya. Aku masuk jalan itu, namun aku benar-benar lupa rumah Liya yang mana. Keraguan menciutkan hasratku untuk berhenti, ada banyak orang di sepanjang jalan yang menatap curiga. Akhirnya, aku urungkan untuk berhenti dan aku putuskan untuk meneruskannya sampai sendi jalan berikutnya, yaitu di ujung jalan yang aku lalui ini.
Aku berhenti di pertigaan, di depan ruko mini di seberang billboard besar. Aku SMS Liya.
Aku: “Dhe, aku lupa rumahmu. Kamu keluar ya! Aku udah di ujung jalan desa mu tapi yang satunya, bukan yang dulu ditunjukin kamu.”
Liya: “Ga la Mas, udah malam.”
Aku: “Kamu tega amat si. Udah jauh2, masa g ditemui!”
Liya: “Maaf deh, Mas. Qw beneran ga bisa, aku ga boleh keluar klo dah jam segini.”
Seketika hujan turun, dan dengan cepat menusuki bumi dengan lebatnya.
“Gawat... !” gumamku, “Aku nggak bawa mantel, nggak pake jaket juga ah... sial! apa nggane aku kudu ngoyos karo klambi tipis kie, njiand! rapapa lah... timbang nginep(36). Tapi, nggak ada salahnya usaha dulu, siapa tahu Liya berubah pikiran.”
“Lagi pula semua ini aku lakukan untuk bertemu Liya, pokoknya dia harus tanggung jawab!” lagi ujarku.
Aku: “Hujan gede nih. Aku ga pake jaket, kamu tega ya!!!”
Aku: “Dhe, ayo donk, itung-itung bantu orang kesusahan napa!”
Akhirnya aku putuskan untuk menelepon Liya dengan Pulsa minim.
“Halo... !”
“Ya, Mas...”
“Kamu tega ya. Udah jauh-jauh datang dari Purwokerto, kamu malah nggak ada usaha buat nemuin aku!”
“Mas, di mana si?”
“Aku udah di ujung jalan desamu tapi yang satunya, bukan yang dulu ditunjukin kamu. Yang ada plang gede.”
“Oh yaya...”
“Kalau datang aku pinjem jaket, ya!”
“Nggak ada jaket laki, Mas.”
“Sweater atau apapun boleh lah... !”
“Bentar ya, Mas... !”
Tututututututututut...
‘Aduh keputus... pokoknya kalau kamu nggak datang berarti ini terakhir kalinya aku datang ke sini!’ Hatiku berkecambuk dan mulai letih.
Hampir seperempat jam aku tunggu, ditemani petir menggelegar, tapi tak ada satupun yang datang. Tempat ini sudah seperti kuburan. Aku bahkan tak memakai celana panjang. Dingin pun menusuk pori-pori lututku, mengajakku untuk jongkok. Tatapan kosong terus menggerayangi setiap sudut kedatangan, tapi tak ada kedatangan.
Hampir saja aku beranjak, dan memutuskan beranjak dengan kaos tipis di tengah hujan lebat dengan jarak lumayan jauh ini. Namun, tak dinyana, ada suara orang datang dari arah kanan. Ujung payung perlahan terlihat, dan warna kuning segera mendominasi penglihatanku, karena seorang Gadis Berkulit Kuning, yang sepintas terlihat dominan, dibarengi dengan tatapan mata indahnya, yang pernah kulihat di tengah malam pasar Pereng dan alun-alun Purbalingga. Rambutnya dipotong sepundak dan berponi, yang semakin memancarkan kedewasaannya. Semua hal dari Liya kini sudah semakin sempurna. ‘Gadis Berkaos Merah Muda’ lugu di pasar Pereng dan gadis mungil saat di alun-alun, kini telah benar-benar matang, bak jeruk segar yang sudah menguning. Dia benar-benar memukaukan hatiku malam ini. Pesonanya terlihat jelas dan hatiku untuk kesekian kalinya jatuh di hadapannya, namun kini aku benar-benar tersungkur, memujanya.
“Mas Abi?” tukas Liya ragu.
“Iya, Dhe... ini aku.”
“Mas, beda banget sekarang ya... aku sampai pangling.”
“Kamu juga,” aku tersipuh malu.
“Oh iya, nih sweater-nya...”
“Makasih ya, akhirnya kamu datang juga.”
“Tapi kan tetap basah kalau pakai itu, Mas?”
“Yah... seenggaknya bisa buat nutupin dada dari angin, dan yang lebih penting aku jadi bisa ketemu kamu.”
Liya tersipuh malu.
Kemudian ada keheningan sementara, kami saling tatap dan malu-malu. Hasrat menggebu-gebu selama tiga bulan, seperti ingin meledak. Aku pegang tangannya, tapi Liya menghindar, dan tersenyum.
“Aku kangen banget...!” tiba-tiba hasrat itu menyembur melalui kata-kata.
Liya masih memegang tangkai payung dengan sedikit manja dan berkali-kali tersenyum.
“Masa, sih??” cletusnya manja.
“Sumpah... !” balasku yakin, tanganku masih berancang memegang lengannya, sampai ke tangannya. Tapi, Liya masih menghindar, lalu berucap.
“Aku juga...”