ARYA berulangkali mengabari bahwa dia sudah siap. Tapi aku masih berangan-angan ingin tinggal sebentar lagi, atau paling tidak, Liya akan mengiringi kepergianku, seperti di film-film.
Sungguh ini bakal jadi kepergian yang menyengsarakan jiwa.
Ular itu berhasil membawaku kepada hukumanku.
‘El enemigo da fallen’ telah merenggut ketenanganku dari rutinitas hidupku, meskipun ini membuatku lebih hidup dengan rasa...
Dan, aku pun mulai merintih dan menderita...
“Kamu mau ikut nggak, sih?”
“Ya iya lah... tunggu... !! aku udah siap-siap, kok, tenang aja.”
“Jangan lama-lama ya... kita ketemu di terminal!”
“Ya, Oke...’”
Tututututututu...
Arya rewel, karena dia sudah beli tiketku, dia tak mau rugi. Dia beli tiket tiga; dua buat dia dan istri dan satu untukku. Dari pada mubazir, aku harus ambil tiket yang sudah dibeli Arya dan harus terima kerewelannya yang kaya ibu-ibu mau melahirkan itu.
Akhirnya mau tak mau, aku bergegas dengan penampilan seadanya; celana pendek, dan sandal jepit, tapi tetap dengan kacamata hitam rocker.
Toto, si pegawai Bapakku, mengantarkanku sampai gerbang terminal. Setelah pamitan, aku masuk mencari Arya dan keluarganya. Di sebuah sudut, aku melihat beberapa orang berkerumun, dengan nuansa yang sangat akrab. Ternyata, Arya bukan cuman dengan istri dan anaknya, tapi juga dengan orang tuanya. Lalu, ada kehangatan yang membuatku memperlambat langkah, karena sungkan.
“Akhirnya datang juga kamu, Bi!” kata Arya.
“Sori deh...,” kataku sedikit tak enak hati, “Oh iya... yang mana busnya?”
“Belum datang, bentar lagi, Bi. Duduk dulu, sini!” kata pak Fir, suami ibunya Arya.
Aku mengangguk lalu meletakkan barang bawaanku, lalu duduk. Di tengah-tengah menunggu, aku sempatkan SMS Liya.
Aku: “Dhe?”
Liya: “Iya Mas, dah berangkat blum?”
Aku: “Ni dah di terminal.”
Liya: “Yah, Qw si berharap Mas g jadi brangkat.”
Aku: “Ak jg Dhe, masih pengn deket2 sm km.”
Liya: “Tp udahlah, qw iklas kok Mas, qw cmn bisa doain ja, moga baik2 di sana.”
Aku: “Ya Dhe, makasi y, kmu juga rus jaga kesehatan!”
Liya: “Y Mas.”
Aku: “Ak pasti sangat merindukanmu, sayang.”
Liya: “Ih Mas...”
Sepertinya Liya masih risih dengan sebutan sayang, tapi sekarang aku malah semakin nyaman dengan sebutan itu.
Malam ketika dia membawakan sweater itulah, saat hatiku luluh bercampur pecah berantakan, dan berderai tak karuan. Lebih-lebih, ketika kami duduk di atas dua roda, dengan pelukan lembutnya, membuatku berasa hidup kembali. Dan, hatiku mulai berteriak, ‘Cinta... !! Cinta... !!!’ saat ciuman terakhir tadi malam, menyatukan nafas kami. Sebuah kecupan yang membuatku seperti coklat yang meleleh bercampur dengan susu kental caramel yang manis. Hal yang diimpikan pun sudah ternikmati.
Bus yang ditunggu pun datang. Lalu dengan cepat terparkir di depan kami. Reflek, kami pun bergegas mendekatinya. ‘Bus yang bagus’ gumamku. Namun, tidak ada yang mengikuti kami, dengan kerumunan orang seperti bus butut di sebelah kami. Tidak ada orang lain kecuali kami yang berjalan seperti pinguin menuju pintu bus. Aku tak percaya, bus sebesar dan sebagus ini, dengan rute favorit, tak ada penumpangnya. Hal ini, mengingatkanku ketika berangkat pertama kali bersama rombongannya Om Janni, yang awalnya berpenumpang sedikit, tapi ternyata sudah banyak yang nunggu. Setelah konfirmasi ke kru bus, ternyata dari terminal ini memang tidak ada penumpangnya, kecuali kami, hanya saja kursi-kursi kosong itu akan diisi sesampainya di Jogja dan Solo, nanti.
‘Enaknya... !’ sekarang aku bebas memilih kursi dan bisa berleha-leha sekitar 3 jaman. Anak Arya pun terlihat lincah di dalam bus yang longgar, dan aku mulai memainkan henfonku. Tak sabar aku ingin SMS Liya.
Aku: “Dhe, Mas udah di dalam bus nih, mo berangkat.”
Liya: “Duh, makin bener deh, Mas mo pergi.”
Aku: “Km sedih ya, maafin Mas ya, klo ini bwt kamu sedih.”
Liya: “Gpp Mas. Qw g sedih kok. Hehe, tuh kan ketawa”
Aku: “Ak pasti merindukanmu, sayang.”
Liya: “Ih Mas ...!”
Aku sengaja menggodanya, tapi ternyata dia masih saja belum siap. Dulu aku juga risih, tapi sekarang itu sebuah kebanggaan.
Terima kasih untuk segalanya, Liya...
Segala cinta yang telah kau tumbuhkan,
begitu bermakna...
Dan bukan hanya mengajaknya tumbuh...
Namun, kau menerimanya...
dan berusaha merawatnya...