Akhir Maret 2012...
SUDAH hampir tiga bulan, semenjak kepulanganku bulan Januari dulu, dan sudah hampir tiga bulan juga hubunganku dengan Liya tumbuh dan seperti diberkati. Aku benar-benar merasa pertama kalinya mempunyai seorang kekasih lagi, semenjak sepuluh tahun terakhir. Setelah sebelumnya hanya bayang-bayang semu yang mengitariku tanpa kepastian. Kali ini aku merasa bahwa 'Inilah kekasihku'.
Sekarang ada foto kekasih yang begitu jelas di dekstop henfonku. Bukan lagi sosok gelap yang menipu, seperti yang sudah-sudah.
Ya Tuhanku...
Rindu ini seperti jaring laba-laba...
Jejak rekam tiga bulan silam, telah menenggelamkanku dalam penderitaan yang dalam...
Oh hatiku sudah terbelah...
Oh... hidupku sudah menjadi separuh....
Dan nafasku sudah hambar tak karuan...
Hanya semerbak harum aroma apel dari nafasmu... kekasihku... hanya itu yang menggenangi lubuk-lubuk pikiranku...
Aku sudah terlalu siap untuk bertemu...
Aku sudah tak sabar ingin menciummu seperti ketika dulu di bawah naungan payung itu... di sekitar tirai-tirai air hujan...
Malam itu... seperti aroma coklat dan apel...
Ya Tuhan...
Jodohku... jodohku telah dekat...
Amiin...
Berasa sudah tiga abad lebih di sini, lama sekali. Belakangan aku sering berangan-angan sudah berada di Jawa, di samping Liya. Tapi semua itu harus pupus, saat mengetahui bahwa masih dua minggu lagi jatah kepulanganku.
Waktu semakin hari terasa semakin lama. Satu detik terasa seperti satu bulan. Siksaan di waktu malam sudah berkali-kali menggerogoti emosiku.
Akulah singa yang kelaparan,
Mengetahui ada rusa muda dan segar di seberang sungai...
Ingin aku menerkamnya, tapi arus deras sungai menahanku, dan jembatan baru dua minggu lagi selesai dibangun...
Kau tahu, seperti apa rasanya?
***
Dua minggu kemudian...
18 April 2012... satu hari sebelum ulang tahun Liya.
Aku sangat bersemangat di kepulanganku kali ini. Sebab ini adalah ‘moment pertemuan’ ketika aku benar-benar yakin tentang status hubunganku dengan Liya. Meski harus molor beberapa hari, akhirnya aku pulang juga.
Aku sampai di Purwokerto, siang tadi, dan tentu saja ada sesuatu yang spesial untuknya di hari spesialnya kali ini.
Seperti tiga bulan-tiga bulan yang lalu—saat sudah sampai rumah—aku langsung berebah di kamar sempitku, dan semalaman tak keluar kamar. Dua hari satu malam di bus membuat perutku kacau balau dan badanku seperti meriang.
Lalu, tiba-tiba ada jejak langkah kaki yang dipercepat, diikuti dengan suara handel pintu yang menjerit. Aku mendengarnya dalam keadaan setengah tidur.
“Bi… kamu nggak makan?” tukas Ibuku, “Itu Ibu sudah masak buat kamu.”
“Iya… nanti ah, perutku masih mual,” kataku setengah tidur.
“Trus yang mau makan siapa?”
“Tawarin aja Putra, Bu, dia kan jago makan!”
“Dia lagi pergi.”
“Ya nanti kalau udah pulang!”
“Oh ya udah. Oh iya... Bi, mana katanya kamu mau kasih sesuatu buat calon mantu?” kata Ibuku yang sudah sering dengar cerita tentang Liya.
“Apa sih, Bu… ahh,” tukasku setengah tidur, “Di tas itu.”
Lalu terdengar samar suara resleting tas terbuka.
“Oh ini,”
“Itu dibungkusin sekalian dong, Bu!” kataku masih dalam keadaan setengah hidup.
“Emm...“
Lalu ada suara pintu tertutup.
Brakkkk!!!
***
Keesokan harinya…