Mimpi Kupu-Kupu

Guo Hua
Chapter #2

Selamatkan Dia!

Langit tiba di rumah sakit dengan Sarah di gendongannya. Dengan tubuh yang kelelahan disertai rasa sakit akibat luka yang ia derita membuat kemampuan otaknya untuk berlogika sangat minim, sehingga satu-satunya hal yang bisa ia perbuat saat menginjak tangga pertama rumah sakit adalah berteriak meminta pertolongan. Hal yang dalam kondisi normal tidak akan mungkin ia lakukan.

“TOLONG!!!” 

“TOLONG!!!”

“TOLONG!!!”

Langit terus berteriak begitu ia memasuki gedung rumah sakit yang cukup sepi mengingat hari sudah larut malam. Dan begitu menemukan siluet seseorang yang berada di dalam Pos Keamanan, Langit langsung bergegas mendekatinya.

“Tolong, pak!” Teriak Langit sambil menggedor kaca pembatas. 

Terkejut dengan suara ketukan keras pada pembatas kaca, alih- alih tertidur, Petugas Keamanan yang semula sedikit mengantuk itu pun langsung terjaga dan bangkit berdiri dari bangku duduknya. 

“Pak...

“Tolong!!”

“Ada yang bisa dibantu?” Tanya petugas keamanan yang berjalan keluar dari pos jaga dan mendekati Langit dengan memasang ekspresi wajah yang datar. 

“Tolong....

“Pak, tolong...

“...tolong dia.” Pinta Langit.

“Anda, salah gedung, dik. Instalasi Gawat Darurat ada di gedung sebelah.” Petugas itu menunjukkan arah kepada Langit yang masih memohon padanya. 

“Aku sudah tidak kuat lagi.” Bisik Langit dengan kaki yang mulai goyang, ia sudah tidak sanggup melangkah lagi, namun ia terus berusaha untuk tetap berdiri. Di saat bersamaan Petugas Keamanan itu juga bergegas keluar dari pos jaganya dan melangkah menghampiri Langit.

“Selamatkan dia!” Seru Langit, berteriak dengan sisa tenaganya yang sudah tidak seberapa dan napas yang tersengal-sengal. "Hhh...hhh....hhh..."

“Bangsal Instalasi Gawat Darurat lewat dari pintu samping, adanya di gedung sebelah.” Ulang Petugas Keamanan itu, berusaha mengarahkan Langit yang terus berceracau. 

“Dia terluka....

“...sekujur tubuhnya...

“....penuh luka.” Dengan peluh bercucuran membasahi sekujur tubuh, bahkan masuk ke dalam kelopak matanya dan membuat pandangannya kabur, Langit terus memohon. 

Jarak di antara Langit dan Sarah dengan Petugas Keamanan itu hanya tinggal satu kaki lagi, dan ketika pandangan matanya jatuh pada sosok yang digendong Langit, apa yang terpapar di depan matanya membuat petugas keamanan itu terhenyak. 

“Tolong...selamatkan...dia.” Pinta Langit dengan suara yang mulai melemah. 

“Astagfirullah! Yaa...Tuhanku!” Seru Petugas Keamanan itu.

“Apa yang terjadi padanya, dik?!” Tanya petugas keamanan itu begitu melihat jelas kondisi gadis di gendongan Langit yang sangat memilukan, tubuhnya dipenuhi luka memar dan beberapa luka terbuka, pakaian yang ia kenakan juga dipenuhi lumpur dan sobek tercabik di berbagai tempat.

“Pak...

“...dia...

“...Sarah.”

“...anaknya dr. Suroso.” Ucapan Langit terpotong-potong karena kekurangan oksigen, mencoba untuk menjelaskan jati diri gadis yang di gendongnya. “Cepat....tolong dia, pak.”

Petugas keamanan itu kembali tertegun, tanpa sadar keningnya berkerut, sorot matanya penuh selidik, meneliti lebih dalam wajah gadis yang setengahnya ternoda lumpur bercampur luka, namun hanya butuh waktu dua detik bagi petugas keamanan itu untuk menyadari kalau yang ada di hadapannya sekarang ini benar-benar putri tunggal direktur rumah sakit mereka. 

“Cepat!” Seru Langit yang sudah kehilangan kesabarannya.

“Lewat sini.” Tunjuk sang petugas keamanan yang kemudian memperhatikan Langit sudah kehabisan tenaga, berinisiatif, mengajukan diri untuk menggantikan Langit menggendong Sarah. “Biar saya saja.” Katanya. 

Namun Langit menolak. “Tidak perlu.” Tegasnya. “Saya masih kuat.” Padahal yang sesungguhnya Langit benar-benar sudah tidak kuat lagi berdiri, namun alih-alih menyerahkan Sarah digendonggannya untuk di gendong laki-laki lain, bagi Langit masih lebih baik jika ia ditembak di tempat sekarang juga.

Petugas Keamanan itu hanya menghela napas tak berdaya atas kekeraskepalaan pemuda dihadapannya, ia memutuskan untuk berjalan cepat di depan, membimbing Langit agar tidak tersesat.

Mengikuti arah yang ditunjukkan kepadanya, setengah berlari Langit melangkah mengikuti Petugas Keamanan yang berjalan cepat di depannya sambil berkoordinasi terkait pasien gawat darurat dengan Radio HT ditangannya.

Baru satu belokan koridor mereka lewati, beberapa perawat yang mendorong Brankar Dorong muncul dari arah berlawanan menjemput mereka. Yang dengan sigap dan terlatih baik menyambut Sarah, membaringkannya di atas Brankar dengan sangat hati-hati, kemudian langsung mendorong Brankar menuju bangsal Instalasi Gawat Darurat. 

Beban di hati Langit sedikit terangkat ketika menyerahkan Sarah ke tangan profesional medis yang bertugas. Namun ia tetap tidak berhenti di tempat itu, langkah kakinya lebih ringan dan dapat lebih cepat mengikuti di belakang para perawat yang bergegas membawa pasien, meninggalkan Petugas Keamanan yang saat itu sudah berbalik dan berjalan cepat kembali ke tempatnya bertugas. 

Dokter jaga yang ada di lokasi saat itu langsung melakukan tindakan medis dan tidak mengizinkan Langit untuk berada lebih dekat, namun matanya yang jeli dapat menilai luka-luka yang terdapat di sekujur tubuh Langit bukanlah cedera ringan.

“Kamu segera temui dr. Jhoni, lukamu juga perlu perawatan.” Katanya dengan suara mezzo-soprannya yang renyah sebelum ia menutup tirai.

Melihat raut muka dan sikap dokter wanita itu, Langit langsung tahu dokter yang merawat Sarah mengenalnya secara pribadi, bahkan mungkin hubungan mereka cukup dekat seperti keluarga. Bahkan suara keduanya memiliki sedikit kemiripan. Langit bisa saja meninggalkan Sarah di rumah sakit, namun hatinya berat untuk melakukan itu. Sebelum pergi, paling tidak ia akan menunggui Sarah dan memastikan kondisi gadis itu stabil terlebih dahulu.

“Usahakan jangan kena air dulu.” Kata dr. Jhoni sambil menuliskan resep obat dengan setengah wajahnya tertutup masker medis. “

“Iya, dok. Terima kasih.” 

“Sama-sama. Semoga lekas sembuh.” 

“Iya.” 

“Kamu tahu, apa yang kamu lakukan itu sangat luar biasa.” Puji sang dokter sambil melepas maskernya. "Perbuatan yang sungguh terpuji."

Tidak menyangka mendapat pujian dari orang yang baru dijumpainya, Langit yang tidak terbiasa menerima perlakuan sedemikian rupa hanya bisa merespon sekedarnya. “Siapa pun akan berbuat hal yang sama, dalam kondisi seperti itu, dok.”

“Mungkin saja begitu.” Dari pengalaman kerja sang dokter selama bertahun-tahun, ia paham, terkadang realita itu sulit untuk diprediksi. “Yang pasti, sebagai sesama laki-laki, saya bangga padamu dan tindakanmu itu.” 

“Terima kasih....” Ucap Langit, yang langsung dipotong oleh sang dokter. 

“Tidak! Saya yang berterima kasih.” Kata sang dokter yang kemudian berdiri dan mengulurkan tangannya untuk menjabat tangan Langit. 

Langit menjabat tangan dr. Jhoni, dengan sopan menganggukkan kepala sebelum ia berbalik dan berjalan keluar dari bilik rawat sang dokter menuju bilik dengan tirai tertutup dimana Sarah masih dirawat didalamnya.

Melirik jam yang ada di dinding, Langit menghitung waktu, satu jam lewat sepuluh menit sudah berlalu sejak ia duduk di ruang tunggu dan dokter yang menindak Sarah masih berada di dalam tirai, sesekali perawat akan muncul dari balik tirai, bergerak cepat mengikuti perintah dokter. Bolak balik membawa baki medis stainless steel berisi kain kasa dan botol-botol cairan desinfektan, serta beberapa perlengkapan medis lain yang tidak dikenali Langit.

Langit tidak berani mendekat, hanya memperhatikan dari kejauhan, berusaha kuat mengabaikan bau desinfektan yang tercium olehnya, namun bau itu terlampau mengganggu baginya. 

Mendapati adanya hembusan angin, Langit beringsut dari posisinya semula, duduk di kursi paling ujung dekat pintu yang sedikit terbuka agar bau mengganggu itu tidak terlampau menyengat hidungnya, dengan mata yang fokus menatap bilik bertirai, menunggu tirai itu terbuka, tanpa sanggup ia kendalikan kesadarannya mulai mengabur dan ia jatuh tertidur. 

Tidak pasti berapa lama ia sudah tertidur, Langit tiba-tiba terbangun oleh suara Brankar Dorong yang melintas di dekatnya. Ia panik dan langsung berdiri dari duduknya saat melihat bilik rawat yang ia tunggu telah kosong. 

Langit bergegas mendekati seorang perawat yang sedang mengatur seprai baru dan berdiri tak jauh darinya, perawat yang ia kenali, perawat yang membawa tiang infus, satu dari tiga perawat yang tadi ikut merawat Sarah. “Suster, bagaimana dengan pasien yang di sana tadi?” Tanya Langit dengan jarinya menunjuk kearah bilik di tengah bangsal yang sudah bersih dan rapi.

“Pasien sudah stabil dan di pindah ke kamar inap VVIP, di lantai 8. Cendana, kamar nomor 1. Pesan dr. Hannah, adik bisa langsung menjenguk kalau sudah bangun.” Kata sang Suster dengan nama ‘Indah’ tertulis pada kartu tanda pengenal yang tersemat di dadanya.

“Lewat mana, sus?” Tanya Langit antusias.

“Dari pintu keluar belok kanan, gunakan lift ke lantai 8. Kamar nomor 1, paling ujung sebelah kanan.” 

Lihat selengkapnya