Mimpi … pernahkah kalian mendengar tentang itu? Bukan tentang bunga tidur yang menghiasi malam, tapi tentang arti yang satunya lagi.
Menurut ayahku, impian ibarat cahaya kecil di ujung lorong gelap. Tak peduli lelah, jatuh, sakit, kecewa bahkan putus asa, saat sinar mungil terlihat semakin tak terjangkau, pendarnya tetap membuat kaki ini bersemangat untuk terus melangkah, mengerahkan segala daya upaya melaju semakin dekat. Berasa, berharap untuk mendapatkannya suatu hari nanti.
Sialnya … tak ada yang pernah mengatakan, jika cahaya itu bisa lenyap dalam seketika. Tanpa disangka-sangka sinar di ujung lorong hidupku musnah, meninggalkanku seorang diri dalam gelap.
Kini, aku hanya bisa diam diri. Termenung dalam sepi, menangis dalam sunyi, meratap dalam hening, rasanya semua yang kulakukan sia-sia. Hidupku sudah tidak ada artinya lagi.
“Tuiiit ... Tuiiiit ... Tuuuuuuutt ...."
“Ah, sudah waktunya,” bisikku pada diriku sendiri. Suara peluit memekakkan telinga membangunkanku dari lamunan panjang. Sebuah pertanda jika perjalanan kereta malam ini akan segera dimulai.
Mungkin… seharusnya aku sibuk memperhatikan barang-barang bawaanku sekali lagi. Mengingat apa aku sudah membawa semua yang kubutuhkan, akan tetapi… mataku memilih untuk beralih pada pemandangan di luar jendela.
Sibuk menatap setiap sudut tempat ini untuk yang terakhir kalinya. Lampu-lampu, suasana kota, dan segala ingatan yang terisi tentangnya. Rasanya akan sedikit rindu walaupun tak sebanding dengan perihnya luka dalam hati.
Siapa yang dapat menyangka, jika seorang Mia Wijaya akan meninggalkan kota Surabaya untuk selamanya? Kabur dari tempat aku dilahirkan, hidup dan dibesarkan.
Kota penuh kenangan yang pernah menjadi saksi jutaan peristiwa bahagia, sialnya kini hanya pengingat luka. Selamat tinggal Surabaya, aku akan pergi menjauh dan tidak berharap untuk kembali. Ya, sepertinya akan rindu, tapi… sakit.