"Mia...!"
Masih segar dalam ingatan, suara Mama memanggil namaku di pagi itu. Seperti biasa, nadanya lantang bahkan terkesan seperti berteriak. Untuk yang tak pernah mengenalnya, mungkin mereka akan berpikir jika Mama sedang marah.
Akan tetapi memang begitulah kebiasaan ibuku. Suaranya menggelegar seperti gemuruh, bukan karena murka, tapi hanya untuk memastikan jika aku mendengar setiap perkataannya.
"Ya, Ma...?" sahutku tak mau kalah. Kuakui, cara berkomunikasi seperti ini agak sedikit barbar, tapi... ya beginilah keluarga kami. Selalu ramai dari pagi bahkan hingga malam nanti.
"Kamu sudah siap? Ayo cepat sedikit, nanti terlambat!" teriaknya lagi.
"Sudah, Ma. Sebentar lagi aku turun!"
Aku menatap diriku di depan cermin. Kuperhatikan setiap detail yang ada di sana. Semua mulai dari tatanan rambut, riasan wajah, kerah baju, kancing-kancing, hingga rok dan sepatu. Hari itu memang hari yang spesial, aku harus terlihat sempurna.
"Cepat turun, Mia! Nanti ga sempat sarapan! Mama sudah siapkan roti untuk kamu!" Suara Mama menggelegar satu kali lagi, mengingatkan jika aku memang tak punya banyak waktu.
Kukenakan blazer hitam yang sudah disetrika Bibi sejak semalam, dan kutatap diriku lagi di depan cermin. "Ya Mia, kamu bisa!" bisikku pada diri sendiri. Sedikit deg-degan, menghadapi sidang skripsi ujian akhir kelulusan membuatku sedikit grogi. Kutarik nafas panjang berulang kali, lalu kusunggingkan seulas senyum. Tanpa berlama-lama aku segera turun ke ruang makan.
"Tumben kesiangan," sapa Mama pagi ini.
"Handphoneku habis baterai, alarmnya mati. Tapi... kenapa Mama tidak membangunkanku lebih pagi? Bukankah aku sudah pesan untuk dibangunkan jam 6?" protesku saat melihat Mama yang sedang sibuk mengoles roti tawar dengan selai kacang dan coklat di meja makan.
"Mama ga tega, Mia. Mama tahu kamu semalaman ga tidur untuk mempersiapkan sidang skripsi hari ini. Lagipula... ini juga masih pagi kok, masih ada waktu. Mama yakin, kalau kamu bergegas, Mia tidak akan terlambat. Sekarang daripada banyak protes, lebih baik kamu duduk, makan dulu!" kata Mama sambil menyodorkan piring berisi setangkup roti selai padaku. Rasanya manis dan hangat seperti biasa. Mama pandai menyulap makanan sederhana, jadi terasa spesial.
"Ckckck, masa Mama ga kenal Mia? Mana mau dia datang mepet ke kampus? Kakakku tersayang ini selalu melakukan segala sesuatunya... seribet mungkin. Setiap masalah harus dibikin rumit. Segala hal harus dipikir terus sampai sempurna. Sekolah, planning masa depan, semuanya. Hei, ga perlu berlebihan begitu, pusing ga sih? Bisa depresi tahu! Ga mau hidup santai sedikit?" sahut adikku Rio dengan senyuman menyebalkan menggantung di pipinya.
Kuakui, adikku lucu sih. Dia pernah memenangkan gelar cowok terimut di sekolahnya. Sialnya... bibirnya itu loh! Pedas ga ngotak. Kalau tidak mengeluh, ya nyinyir. Entahlah, aku tak tahu apa yang ada di pikirannya, tapi kelakuannya benar-benar... arrrghhhh!
"Diam, anak kecil cerewet!" kataku setelah menelan roti yang dikunyah sejak tadi. Aku tidak mau tersedak hanya karena bicara omong kosong dengannya.
"Sebelum kamu menghina kakakmu ini, sebaiknya perbaiki dulu nilai rapormu! Nilainya kebakaran semua, kan? Cobalah lebih tanggung jawab, jangan sampai masa depanmu juga bernasib sama, mengerti? Beeeee...."
"Oh my sistah Mia, please. Jangan terlalu berlebihan! Percayalah, rapor tidak menentukan masa depan. Lagipula, santai sedikit kenapa? Kurasa dunia tidak runtuh jika kamu telat 5 menit saja, beeeee...," balas Rio.
"Ah, itu benar!" sahutku setuju. "Dunia memang tidak akan runtuh karena telat 5 menit, Rio. Tetapi... kebaikan hati Papa bisa hancur kalau terus-terusan melihat nilai merah di rapormu itu. Saranku, sebaiknya kamu mulai serius belajar atau playstationmu akan segera disita," ledekku kembali.
Ckckck, kapan adikku ini bisa bersikap lebih dewasa? Kapan dia bisa bertanggung jawab minimal untuk hidupnya sendiri? Aku tidak minta banyak-banyak, cukup sedikit saja. Percaya atau tidak, sikap santai dan acuhnya lebih sering membuatku, bahkan Mama dan Papa kehabisan kesabaran.