“Hi, Mia. Bagaimana? Apa kamu sudah di dalam kereta?”
Kupandangi pesan yang baru saja muncul di layar telepon genggamku. Sebuah pesan singkat yang dikirimkan Tante Nadia, sahabat ibuku. Kuakui, sedikit malas menjawab pesannya, tetapi mengingat aku akan tinggal untuk sementara waktu di rumahnya, suka tidak suka aku harus memaksakan jari-jariku untuk mengetik sesuatu.
“Sudah tante,” jawabku singkat.
“Semuanya aman?” balasnya lagi.
“Aman tante.”
“Baguslah kalau begitu. Baik-baik, Mia. Hati-hati di jalan. Kabari tante jika kamu sudah sampai di Bandung.”
“Ya, tante.”
Aku memandangi pesan itu berulang kali. Bandung, huh? Jujur, masih tidak menyangka jika aku akan memulai kehidupan baru di kota lain selain Surabaya. Rasanya campur aduk. Khawatir, sedih, takut, tapi aku tidak punya pilihan lain. Kurasa… hanya inilah cara terakhir yang kupunya, untuk menemukan cahayaku kembali.
“Tuk!” Sebuah ketukan kecil hinggap di kepala, membangunkanku dari lamunan.
"Hai kaka,” sapa seorang anak kecil yang sudah berdiri di sebelah. Matanya berbinar, bulat membesar penuh harap.
“Pelmisi, aku mau ambil itu," lanjutnya sambil menunjuk pesawat kertas yang entah sejak kapan mendarat di pangkuanku. Aku segera menatap mata anak itu. Dalam, tajam, tanpa ampun. Perlahan kuambil pesawat itu, lalu kurobek dengan kedua tanganku sendiri.
Sobekan yang sangat panjang, dari ujung ke ujung. Silahkan katai aku dengan kata kejam, tapi sudah saatnya anak kecil ini belajar, jika ia tidak boleh mengganggu privasi orang lain, terutama di tempat umum.
"Pergilah!Jangan ganggu aku!" bisikku kesal.
Anak itu diam. Ia tidak bergerak atau mengeluarkan kata-kata.
“Ayo pergi! Apa yang kau tunggu?” ucapku sekali lagi.
Anak itu masih diam, lalu menangis sekencang-kencangnya. Suaranya memekakkan telinga, membuat semua mata tertuju padaku. Menatapku dengan penghakiman, seolah aku monster kejam tidak berperasaan.
“Husss, diam,” bisikku sekali lagi. Aku tidak mengerti kenapa dia menangis? Aku tidak meneriakinya atau memakinya dengan kata-kata kasar. Lagipula apa yang bisa diharapkan dari manusia menyedihkan ini? Suaraku saja serak bahkan hampir hilang. Kenapa dia harus menangis?
“M-maaf, maaf, Mbak. Sekali lagi maaf, anak saya tidak bermaksud apa-apa, tapi… saya minta maaf jika anak saya sudah membuat Mbaknya terganggu," kata seorang ibu yang langsung menghampiri. Ia segera menggendong anaknya, lalu membawanya pergi ke tempat duduknya semula. Baguslah, memang sudah seharusnya anak itu menggangguku dengan permainan recehnya.