Aku tidak tahu, apa aku harus bersyukur atau tidak. Saat mataku terbuka, dan melihat lingkungan sekitar, beragam rasa bercampur aduk di dalam hati. Jujur, ada sedikit rasa lega, tapi disisi lain … banyak pula firasat buruk yang tidak bisa kuabaikan begitu saja.
Lega karena aku tersadar dalam kondisi baik-baik saja, dan masih ada di dunia mimpi tentunya, yang itu berarti aku masih punya kesempatan untuk memenangkan hadiahku. Tapi, jika terbangun dengan kondisi tangan dan kaki terikat, rasanya … hampir mustahil jika aku tidak merasa khawatir.
“Ah, akhirnya dia sadar juga!” Suara menyebalkan tiba-tiba hinggap di telinga.
Oh sial, dia lagi! Itulah yang ada di pikiranku saat melihat siapa yang berdiri di hadapan. Tentu saja, tiada lain dan tiada bukan, dia adalah pria menyebalkan yang kutemui di pinggir sungai.
Tidak ada yang salah dengannya. Kuakui fisiknya sempurna, ia terlihat seperti gambaran ksatria-ksatria yang kubaca dalam novel atau cerita ala kerajaan. Tinggi, besar, tampan, apalagi dengan baju zirah dan jubah berwarna biru tua, penampilannya luar biasa gagah. Sialnya, Tuhan memang adil. Tidak ada makhluk yang diciptakan sempurna tanpa kekurangan. Sayangnya ….
"Wow, kuakui kamu memang sangat beruntung,” lanjut pria itu dengan seringai jahil di pipinya.
Ya, begitulah! Dia boleh tampan, sayangnya kelakuan dan perkataannya tidak berbanding lurus dengan penampilan. Percayalah, mimik juga setiap kata yang keluar dari mulutnya membuatku kesal.
“Kamu beruntung, karena adikku baik hati. Ketika adikku melihatmu pingsan di dekat sungai, lalu memintaku untuk menolongmu. Sayangnya, sial bagiku, bukan? Percayalah, aku harus menggotong tubuh monster buruanku dan tubuhmu bersamaan, lalu menyalakan api agar kamu berhenti menggigil. Sungguh pekerjaan melelahkan.”
Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan pada pria menyebalkan itu. Terima kasih atas bantuannya? Maaf jika aku merepotkanmu? Mungkin jika dia tulus, kata-kata itu tidak sulit untuk diutarakan. Sayangnya, dari ceritanya barusan, sepertinya dia menolongku dengan terpaksa, dan karena dia mengikat tangan dan kakiku. Ini lebih terlihat seperti penculikan, bukan pertolongan.
“Aku tidak mengerti apa urusanmu, tapi kumohon lepaskan aku!” kataku lemah. Kugerakkan tanganku ke kiri dan ke kanan, mencoba untuk melepaskan ikatan tali menyebalkan ini. Aku tahu, dengan kondisi seperti ini, pastinya usahaku akan sia-sia, akan tetapi, aku tetap mencobanya. Tak ada siapapun yang suka diperlakukan seperti ini. Lagipula, apa salahku? Aku tidak merasa punya masalah dengan pria ini, kenapa dia harus memperlakukanku seperti seorang penjahat?
“Melepaskanmu? Ohoho, tidak semudah itu!” jawabnya . “Aku bersedia menolongku, tapi bukan berarti aku mempercayaimu. Sudah kukatakan sebelumnya, aku bukan adikku! Jadi jangan coba bertindak macam-macam, karena aku tidak akan segan untuk menghabisimu! Mengerti?”
Seketika itu juga kata-katanya membuatku bergetar. Tak kusangka, dia bukan hanya menyebalkan, tapi juga menyeramkan. Ancaman dari mulutnya tidak terdengar seperti gertak sambal, ia sungguh serius dengan perkataannya.
“Ah, kakak itu sudah sadar?” sahut suara lembut yang berbisik dari balik dedaunan.
“Ya, Elior, dia sudah sadar,” kata pria itu sambil berjalan mendekati adiknya. Seorang lelaki kecil, yang mungkin berumur 10 tahunan. Di bawah pendar cahaya api unggun remang-remang, pipinya tampak kemerahan, membuat wajahnya terlihat imut.
“Ah, baguslah. Bagaimana keadaanmu?” kata anak itu sambil berlari ke arahku akan tetapi pria itu segera menangkap tangan adiknya. Ia benar-benar mencegah anak itu untuk mendekatiku.
“Dengar Elior! Aku sudah mengikuti semua permintaanmu. Aku sudah menolongnya, tapi aku tidak akan membiarkanmu mendekatinya. Dia….”
“Dia bukan orang jahat!” sahut anak itu, lalu ia berlari ke arahku.
“Kenalkan, namaku …. Hei, Kak Aaron, apa yang kamu lakukan padanya?” protes anak itu saat melihat apa yang terjadi dengan kaki dan tanganku.
“Aku mengikatnya! Sangat kencang,” sahut pria itu dengan bangga, lengkap dengan seringai menyebalkan, juga tangan yang sudah terlipat di depan dada.
“T-tapi kenapa?” tanya anak itu bingung.
“Kamu pikir, aku akan membiarkannya bergerak lepas begitu saja? Bagaimana jika dia punya niat buruk? Ingat Elior, dalam situasi seperti ini, kita tidak bisa mempercayai siapapun! Aku tahu hatimu baik, tetapi … terlalu naif bila kita membiarkan orang asing sepertinya bertindak sesuka hatinya.”