“Hoek ….”
Ok, aku tahu itu bukan suara yang enak untuk didengar. Dari hati yang terdalam, aku tahu ini juga memalukan. Jujur, aku ingin sekali mengeluarkan bunyi-bunyian yang lebih merdu, sialnya … aku tak punya pilihan lain.
Sejak tadi aku sudah meronta, menggeliat sekuat tenaga, agar pria menyebalkan ini segera melepaskanku dari gendongannya. Baru tahu, jika ternyata, menjadi karungan beras di pundak seorang kuli ternyata bukan hal yang menyenangkan. Bahunya tepat ada di perutku, dan setiap kali ia berlari, guncangannya terasa seperti tonjokan-tonjokan kecil menyebalkan.
“Hoek …, “ ujarku lebih keras lagi. Yah, siapa tahu saja dia tidak dengar ucapan yang kubuat sebelumnya. Kucoba sekali lagi, dengan volume yang lebih mumpuni dandengan nada yang lebih menyakinkan. Untungnya, kali ini telinganya berfungsi dengan sempurna.
Pria itu langsung terdiam, bahkan kakinya yang sempat berlari cukup lincah mulai berhenti perlahan. Akhirnya … setelah berjuang cukup lama, dia mendengarkanku juga. Wajar! Mau di dunia mimpi, atau dunia apapun, kurasa tidak ada yang mau terkena cairan menjijikan keluar dari perut seseorang. Kubayangkan baunya pasti … Ew …!
“Kumohon, turunkan aku!” bisikku perlahan. Wow, kuakui ini cukup berhasil. Tak kusangka, aku berhasil membuatnya patuh. Setidaknya kini dia menuruti permintaanku tanpa banyak bicara.
“Cepat keluarkan sana!” katanya sambil menunjuk sekumpulan semak di ujung sebelah kanan. Bibirnya masih mengkerut, bukti jika dia melakukannya dengan berat hati. “Ayo cepat! Tunggu apa lagi? Jalan ke balik semak itu, dan jangan berisik! Ingat, jika kamu berteriak, atau cari masalah, aku tidak akan segan untuk menghabisimu!” lanjutnya sambil menggoyangkan pedang di pinggang.
Yah, kata-kata itu lagi. Jujur, telingaku sudah muak dengan kalimat itu. Tidakkah dia punya ucapan lain yang lebih merdu untuk didengar? Huff, Mia, Mia, berharap apa aku ini? Rentetan kata-kata manis dari seorang ‘buronan’? Yang benar saja!
Aku segera berjalan ke arah semak yang ditunjukkannya, bersiap untuk mengeluarkan isi perutku. Tetapi, ketika kulihat pandangannya teralih dariku, tiba-tiba otakku mengeluarkan ide cemerlang. Agak gila sih, tapi kakiku langsung berlari dengan sangat cepat.
“HEI!” teriak pria itu kesal saat melihatku melarikan diri.
Apa boleh buat, kesempatanku tidak banyak. Selemas apapun kaki dan perutku, aku tetap berlari sekuat tenaga. Aku tidak bisa menghabiskan waktu dengan para buronan, ketika misiku berkaitan dengan putra mahkota. Keduanya sangat amat berbeda.
“Aw, aduh!”
Sialan! Haruskah aku terjatuh di saat yang penting ini? Mana perutku jadi semakin mual. Oh, tidak! Jika mereka mengejarku, maka habislah aku. Aku mencoba untuk berdiri dan benar saja, dari belakang kulihat sosok pria itu berlari semakin mendekat.
“Baiklah, Mia! Sudah tidak ada waktu lagi, kini saatnya untuk berjuang!” bisikku pada diriku sendiri.
Kakiku mulai melangkah lagi. Tidak secepat sebelumnya, tapi aku akan berusaha sekuat tenaga. Aku akan berlari secepat yang kubisa, walaupun dari dalam hati ini rasanya sia-sia. Pria itu pasti sanggup mengejarku dengan mudah. Bagi ksatria sepertinya, mengejar seorang wanita terluka bukanlah masalah besar.
Nafasku mulai sesak, andai saja aku rajin berolahraga, mungkin kakiku tidak akan selemah ini. Eits, astaga hampir saja aku lupa! Ini kan hanya mimpi, seharusnya tak ada hubungannya dengan dunia nyata.
“Kembali, kau!” teriak pria itu. Dari nadanya sepertinya aku benar-benar telah membuat kesabarannya habis. Kali ini dia tidak akan mengampuniku. Jika tertangkap, aku akan berubah jad dendeng, jadi aku harus berlari secepat mungkin.
“Hei, kemba .…”
Eh? Ada apa ini? Kenapa suaranya tiba-tiba hilang? Apa dia berhenti mengejarku? Apa dia menyerah? T-tapi … kenapa?
“T-tidak, Elior!”