“Juancuk!”
Aku segera menutup mulutku rapat-rapat, berharap tidak ada satupun yang mendengarnya. Astaga, apa yang sudah kukatakan? Mana keras pula! Bagaimana jika mereka tahu aku di sini? Sial, sial,sial!
Kuakui, aku memang melakukan kesalahan. Tidak seharusnya aku mengeluarkan suara yang tidak perlu, akan tetapi itu umpatan itu benar-benar reaksi jujur dari dalam hati. Aku mengumpat saat melihat ke mana arah sinar dari buku petunjuk berakhir.
Setelah kembali menyusuri hutan dengan susah payah, mengorbankan keinginanku untuk beristirahat di desa, dan inilah jawaban yang kudapatkan. Buku ini membawaku kembali pada dua manusia bermasalah itu. Si Pria menyebalkan beserta adik kecilnya.
Aku tak tahu apa yang seharusnya terjadi, tapi mungkin saja jika sejak awal buku ini memang memanduku kepada mereka. Jika saja aku tidak pingsan saat berenang di sungai, mungkin aku akan melihat sinar yang tertuju pada pria itu. Sama seperti saat ini, saat cahaya dari buku petunjuk menjurus padanya.
Kuperhatikan lagi sosoknya dalam-dalam, lalu kugoyangkan kepalaku ke kiri dan ke kanan. Sedikit berharap jika mataku melakukan kesalahan. Kututup mataku, dan kutarik nafas dalam-dalam. Duh, semoga setelah terbuka nanti, aku melihat sosok yang lain. Ya, manusia lain, selain orang itu.
Satu … dua … ti … hahaha …
Yup, tidak ada kesalahan, dan sampai kapanpun mataku menatap ke atas pohon besar itu, bahkan membuat leherku mendongak cukup tinggi untuk mengikuti sinar dari buku petunjuk, tetap saja hanya mereka yang kutemukan. Pria menyebalkan itu dan adiknya yang sedang bersembunyi di atas pohon.
Untuk masalah ini, kuakui mereka cukup pandai. Memanjat pohon besar untuk menghindari pencarian brutal para pasukan itu. Seandainya buku ini tidak menunjuk ke arah sana, maka aku pun pasti tidak akan menemukannya. Pertanyaannya sekarang, kira-kira apa yang harus kulakukan?
Haruskah aku menampakkan wajahku, and say hello pada mereka? Tersenyum, melambaikan tangan, sambil berlaku seolah tidak terjadi apa-apa di antara kami? Hahaha, sepertinya tidak mungkin, pria itu tidak akan berpikir dua kali untuk menjadikanku perkedel.
“Jejak mereka ada di sini! Cepat ikuti, jangan sampai lepas!”
Oh, tidak, ternyata mereka juga ada di sini, membuat malam in jadi lebih berwarna. Benar saja, tanpa perlu waktu yang lama, prajurit-prajurit itu mulai berdatangan. Mereka sibuk memperhatikan jejak yang ada di tanah. Ckckck, dasar bodoh, tidak bisakah dia menghapus jejak kakinya sebelum naik ke atas pohon?
“Jejaknya berhenti di sini!” sahut seorang prajurit. “ Mereka pasti bersembunyi di sekitar sini. Ayo cepat cari!”
Kuperhatikan wajah kedua bersaudara itu dari balik semak. Jangan tanya apa yang terjadi dengan anak itu. Wajahnya pucat pasi, ia pasti ketakutan. Sedangkan kakaknya, pria itu menggenggam pedangnya kencang-kencang, bersiap untuk memulai pertarungan.
Tak kusangka, kini aku melihat sisi lain dari pria menyebalkan itu. Ya, kelakuannya memang minus, tapi dari peristiwa ini aku sadar, jika ternyata dia sangat menyayangi adiknya. Sejak tadi, dia terus memeluk anak itu, bahkan di saat-saat terberat sekalipun.
“Eits, apalagi ini?” bisikku dalam hati. Para prajurit kembali berdatangan dan jumlah mereka sangat banyak. Sial, sial, apa yang harus kulakukan? Jika begini ceritanya, tak akan butuh waktu lama, mereka akan menemukan apa yang mereka cari. Benar saja dugaanku, salah satu dari prajurit itu mulai memperhatikan pohon besar dimana kedua bersaudara itu berada.
“Hai!” ujarku sambil berdiri. Menunjukkan sosokku dari balik semak-semak kepada semua orang yang ada di tempat ini. Kutatap ke atas, melirik wajah pria itu yang sepertinya cukup terkejut melihat kehadiranku. Dia pasti tidak menyangka jika dia akan melihatku lagi.
“H-hai s-semua, huff, huff… m-maaf, maaf,” kataku sambil membungkukan badan. Menaruh kedua tanganku di lutut, menarik nafasku pendek-pendek, berlagak seperti orang yang tergopoh-gopoh kelelahan karena berlari cukup lama. Sambil berharap jika aktingku cukup bagus untuk membuat mereka semua percaya.
“Hai, Mia si pengembara, apa yang kamu lakukan di sini? Bukankah aku sudah menunjukkan arah ke desa yang aman?” tanya Sang Kepala Prajurit yang baru saja kutemui sebelumnya.
“A-aku melihat … m-mereka!” jawabku. “A-aku… m-melihat dua orang yang … yang … k-kalian cari!”
Kuintip lagi ke atas, kini wajah pemuda itu yang berubah sepucat mayat. Jika aku menunjuk ke atas ranting pohon besar itu, maka habislah mereka.
“Ya, a-aku melihatnya! Seorang pria … dan adik kecilnya!”
“Di mana? Di mana kamu melihat mereka,” tanya kepala prajurit bersemangat.
“A-arah sana!” jawabku sambil menunjuk ke arah desa. “A-aku sedang berjalan ke desa, dan tanpa s-sengaja aku melihat mereka juga berjalan ke sana. Pria itu membawa pedang besar. Ia memakai pakaian perang berjubah biru tua, sedangkan adiknya… dia hanya anak kecil yang kira-kira berusia 10 tahun.”
“Ah, betul! Itu mereka!”
“Ya, a-aku takut. A-aku tak mau berurusan dengan para buronan itu, j-jadi sebelum mereka menyadari keberadaanku dan menangkapku, aku segera berlari dan m-mencari kalian.”
“Baiklah kalau begitu, terima kasih atas informasinya. Pasukan, ayo cepat!” katanya sambil berlari menjauh, diikuti oleh seluruh pasukannya.