“Stop … stop dulu …. Kumohon, s-stop …!”
“Apa lagi?” tanyanya judes. Pria itu membalikkan badan, matanya menatapku seolah-olah aku adalah beban. Ya, tentu aku tahu, kami dalam misi penting pencarian kristal raja. Aku juga sadar jika kami berpacu dengan waktu. Telat sedikit saja … game over. Tapi percayalah, menyisir seluruh isi hutan untuk mencari benda mungil bercahaya juga bukan perkara mudah.
“Bisa Istirahat sebentar?” pintaku pada Aaron. Mau bagaimana lagi? Nafasku mulai ugal-ugalan, keringatku mengucur deras, lututku mulai lemas, bahkan jempol kakiku terasa mau putus.
“Tidak bisa! Kita harus bergegas, jangan sampai Paman Trauman menemukan kristal itu terlebih dahulu.”
“Aku tahu Aaron, tapi … tolonglah! Aku tak masalah jika kamu tak peduli denganku, tapi tidakkah kamu lihat adikmu? Ia tampak kelelahan. Sejak tadi Elior sudah memegangi lututnya. Aku tahu kamu sangat bersemangat, tapi kamu juga harus sadar, jika saat ini hanya kamu saja yang segar bugar!”
Pandangannya beralih pada adiknya. “Elior, kamu tidak apa-apa?” tanyanya kecut. Entahlah, aku tidak paham kenapa wajahnya seperti itu. Apa dia kesal padaku? Mungkin dia tidak terima jika aku lebih mengetahui kondisi adiknya.
“Ah …, i-iya … aku t-tidak apa-apa,” jawab anak itu mengacungkan jempol seraya mencoba memberikan senyum terbaiknya yang tidak tampak baik-baik saja. Baiklah, anak ini benar-benar bermasalah, Bisa-bisanya dia punya tenaga untuk tersenyum, padahal untuk berdiri saja sulit.
“Kau dengar, cerewet? Elior tidak apa-apa,” kata Aaron padaku.
Ini lagi, kakak gila yang menyebalkan. Aku tahu tenaganya memang luar biasa. Setelah berjalan cukup jauh, berputar-putar ke sana kemari untuk mencari kristal sialan itu, bahkan kadang berlari untuk menghindari prajurit, hanya dia yang masih bisa berdiri tegak seolah tidak terjadi apa-apa. Kulihat Aaron sesekali mengelap keringat di dahinya, tapi nafasnya tidak hah, hah, heh, hoh, sepertiku ataupun Elior.
Aku segera berjalan mendekati Aaron. Memegang wajahnya dengan kedua tanganku, lalu kuarahkan pandangannya pada Elior.
“Lihat! Anak itu tidak akan mengatakan apa yang dia inginkan, atau apa yang dia butuhkan. Anak itu berusaha sangat keras untuk mengikuti semua keinginanmu. Jadi … perhatikan adikmu baik-baik, atau kamu yang akan menyesal nanti,” bisikku tepat di telinganya.
Kata-kata yang tidak akan pernah diucapkan oleh Mia yang dulu. Kata-kata yang hanya keluar, setelah aku kehilangan adikku. Benar sekali, aku punya adik yang jarang kuperhatikan. Aku terlalu sibuk dengan urusanku sendiri, dan kini aku merindukannya. Sosoknya, keberadaannya bahkan kejahilan juga candanya yang kadang membuatku kesal. Sekarang sudah sangat terlambat, tidak ada lagi hal yang kulakukan untuk adikku dan kuharap Aaron tidak melakukan kesalahan yang sama.
“Ah, lelah sekali. Sepertinya wanita itu benar, sebaiknya kita beristirahat sebentar,” sahut Aaron sambil menyandarkan badannya dan duduk di bawah pohon rindang.
Syukurlah. Kurasa dia mengerti perkataanku dengan baik.
“Aku juga lelah, akhirnya kita istirahat juga,” jawab Elior sambil duduk di samping kakaknya.
“Hei, kalau memang lelah kenapa kamu tidak bilang?” tanya Aaron. “Sekali-kali contohlah perempuan ini, dia bawel, tapi setidaknya dia bisa mengutarakan isi hatinya.”
“Hei!” protesku tak terima.
“Aku tidak bisa,” jawab Elior. “A-aku merasa sudah merepotkan banyak orang. Semua ini terjadi karena aku, dan rasanya aku tidak pantas untuk … mengeluh.”
“Elior,” tegur Aaron sedikit emosi. “Aku ini bukan orang, kamu tidak perlu merasa seperti itu padaku.”
Aku menatap Aaron dengan rasa tidak percaya. “Tunggu, kamu bukan orang?” tanyaku atas kata-kata anehnya.
“Maksudku, aku ini bukan orang lain. Elior tidak perlu sungkan padaku karena aku kakaknya,” jawab Aaron tidak terima.
“Oh maaf, aku kira kamu sejenis bebek,” candaku yang diikuti tawa super kencang dari Elior.
“Ha … ha … ha…, “ sahut Aaron tidak terima walaupun setelah itu dia ikut tertawa juga. Kuakui, bercanda dengan kedua pangeran ini sangat menyenangkan. Aku tidak pernah tertawa selepas ini sejak tragedi itu.
“Kru … kru ….”
“Kamu lapar?” tanya Aaron pada adiknya, setelah mendengar perut anak itu berbunyi minta diisi.
Anak itu mengangguk, lalu Aaron segera membuka kantongnya. Ia mengambil dua potong roti dan memberikannya sebuah pada adiknya. Potongan rotinya tidak terlalu besar, tapi terlihat sangat menggiurkan. Hahaha, sepertinya aku juga sedikit lapar. Benar, hanya sedikit, tidak banyak-banyak.
“Ini,” kata Aaron sambil memberikan roti yang satu lagi padaku. “ Aku sungguh berharap bisa menjamu tamu kehormatan yang berkunjung ke kerajaan kami dengan makanan yang lebih istimewa. Sayang sekali, hanya ini yang kupunya karena semalam aku terpaksa meninggalkan daging monster itu hutan.”
“A-aku ….” Sial, kenapa aku jadi gugup begini? Di dunia nyata aku tidak punya waktu seperti ini. Aku terlalu sibuk dengan seluruh agenda akademik. Tugas-tugas, kuliah, hingga kegiatan organisasi kemahasiswaan. Ini pertama kalinya ada seorang pria yang memberikan bekal terakhirnya untukku. Walaupun ini hanya sebuah mimpi, tapi tetap terasa ada sesuatu yang … berbeda.
“L-lalu, k-kamu? Kamu t-tidak makan?” kataku mengalihkan pembicaraan.
“A-aku?” sahut Aaron.