Aku tahu ini bukan perkara mudah. Saat mataku menatap cahaya kebiruan yang berpendar dari dasar danau, aku tahu kami harus bekerja lebih keras untuk mengambilnya.
"Baiklah, tugas berikutnya adalah mengambil kristal itu dari dalam danau. Ada yang punya ide?" tanyaku sambil menatap kedua pangeran yang ada di sampingku.
Eh? Tunggu, ada apa ini? Mengapa mereka berdua tidak menjawab pertanyaanku? Aaron menutup mulutnya rapat-rapat, demikian juga dengan Elior. Tatapan mereka kosong, mereka mematung di pinggiran danau.
"Ayolah, kenapa kalian diam begitu? Aku tahu ini sulit, tapi bukan berarti mustahil. Kira-kira, bagaimana caranya kita bisa mengambil kristal itu? Berenang? Menyelam? Ada yang punya ide lain? Atau … mungkin kalian kenal seseorang yang bisa membantu?" tanyaku kembali pada kakak beradik itu.
"Entahlah …," jawab Aaron pasrah.
Aneh sekali, dia tidak terdengar seperti Aaron yang kukenal. Biasanya ia selalu yakin, bahkan lebih ke arah terlalu percaya diri, bahkan arogan dalam menyelesaikan perkara. Kali ini, nada bicaranya seperti orang kehilangan harapan yang putus asa.
“Hei Elior, bagaimana menurutmu?”
Kuperhatikan anak itu dengan seksama. Kondisinya lebih parah dari kakaknya. Wajahnya putih pucat, dahinya mengeluarkan banyak keringat, bahkan aku mendapati sesekali tangannya bergetar. Anak itu terlihat sangat ketakutan.
“Elior, kamu tidak apa-apa? Apa kamu sakit?” Aku sungguh khawatir melihat kondisinya.
"Tak perlu khawatir, aku akan mengambilnya,” sahut Aaron sambil menepuk bahu adiknya.
“Tapi Kak Aaron ….”
“Kurasa ini adalah ujianku. Waktu terbaik bagi Sang Raja terpilih untuk membuktikan bahwa ia pantas atas tahtanya."
"Tunggu, apa maksudmu? " tanyaku pada Aaron.
"T-tidak, kumohon …," kata Elior berlinang air mata. Bicaranya terbata-bata, bahkan anak itu memerlukan sedikit waktu untuk melanjutkan perkataannya. “K-kumohon, jangan lakukan itu. P-pokoknya Kak Aaron tidak boleh ….”
Aaron segera memeluk Elior, bahkan sebelum anak itu menyelesaikan kata-katanya.
"Tenanglah, semuanya akan baik-baik saja," jawab Aaron sambil mengacak rambut adiknya. “Kita berdua sudah berjanji pada ayah untuk menjaga Arco Iris, tak peduli bagaimanapun caranya. Kita sudah berjanji untuk melakukan yang terbaik untuk rakyat dan kerajaan ini.”
“T-tapi Kak ….”
“Aku tidak bisa membiarkan Arco Iris dipimpin oleh dia yang tidak seharusnya duduk di tahta. Ini kewajibanku sebagai anak tertua dari seorang Raja,” kata Aaron dengan mata penuh binar.
Perlahan-lahan pria itu berdiri, dan menaruh pedang besarnya di dekat pohon, perlahan menanggalkan jubah perangnya, lalu bersiap-siap untuk masuk ke dalam air.
“Perlu bantuan?” tanyaku yang dibalas oleh tatapan tajam dari bola matanya. “Jangan salah sangka!” lanjutku. “Bukan maksudku untuk meragukan kemampuanmu, akan tetapi siapa tahu … ehm, danau ini cukup tenang, airnya jernih seperti kaca, dan dasarnya dapat terlihat jelas, hanya saja kedalamannya masih belum pasti, jadi ….”
“Tolong jaga adikku,” jawab Aaron lirih.
“Hei, m-maksudku bukan begitu. Maksudku ….”
“Itu saja. Jika kamu memang berniat membantuku, tolong jaga adikku selagi aku tidak disini.”
“B-baiklah, jika itu yang kamu inginkan.”
Aku tidak tahu apa yang ada dalam pikirannya. Tapi, melihat ekspresi wajahnya yang begitu serius, aku tidak pilihan lain selain menyetujui permintaannya.
Aaron mengangguk, lalu ia menggerakkan tangan kakinya, meregangkan seluruh otot-ototnya dan bersiap-siap. Tanpa menghabiskan banyak waktu, Aaron segera masuk ke dalam air.
"Ingat Mia, tolong jaga adikku. Aku tidak akan memaafkanmu bila terjadi sesuatu yang buruk padanya," kata Aaron sesaat sebelum sosoknya hilang, menyelam ke dalam danau.
Kulihat Elior mengusap air matanya berulang kali. Entah apa yang membuat anak itu begitu sedih, hingga membuat air matanya tidak bisa berhenti menetes deras ke pipi dan dagunya.
"Tenanglah, Elior. Kamu tidak perlu menangis begitu. Biarkan kakakmu mencoba, dan kurasa Aaron akan baik-baik saja. Badannya besar, atletis dan pastinya dia perenang hebat. Lagipula jika dia tidak berhasil, kita bisa memikirkan cara yang lain, jadi kamu tidak perlu khawatirkan," kataku untuk menghibur anak itu.
"B-bukan begitu, Mia. K-kamu t-tidak tahu keadaannya. Da-danau ini bernama Aliento, danau yang cukup terkenal di Arco Iris.”
“Baiklah, lalu?”
“Danau ini terkenal k-karena … s-selama ini … belum pernah ada … s-satu orang pun yang berhasil menyentuh dasarnya," jawab Elior sambil terisak.
"Haha, tidak mungkin. Kumohon, jangan bercanda dalam keadaan seperti ini! Sama sekali tidak lucu, Elior. Lagipula jika hal itu benar, untuk apa Aaron masih berusaha menyelam untuk mengambil kristal itu? Untuk apa dia bersusah payah, jika tahu dia tak akan bisa menyentuh dasarnya," tanyaku serius.