“Sudah aman,” bisik Elior. Suaranya terdengar lega, walaupun matanya masih fokus mengintip ke arah hutan.
“Kamu yakin?” tanyaku memastikan.
“Yup,” kata anak itu penuh keyakinan. Agak samar memang, tapi aku bisa melihat kode jempol yang diacungkan Elior dari atas pohon. “Aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi mereka mulai meninggalkan area danau. Kurasa kita akan lebih aman berada di sini daripada kembali masuk ke dalam hutan,” lanjut anak itu melengkapi laporannya.
“Baiklah kalau begitu,” jawabku lega.
Kuakui beberapa jam terakhir ini benar-benar melelahkan. Dengan kondisi Aaron yang belum pulih sempurna, main ‘petak umpet’ dengan prajurit kerajaan menjadi berpuluh-puluh kali lebih menegangkan.
Ruang gerak kami terbatas. Kami tidak bisa bersembunyi dan memanjat ke atas pohon, atau bahkan untuk sekedar lari menghindar. Sialnya, prajurit-prajurit itu semakin rajin menyusuri setiap tempat bahkan hingga ke pinggiran danau. Untung saja, beberapa menit yang lalu tiba-tiba mereka berubah haluan, dan kembali masuk ke dalam hutan. Jika tidak, oh, aku tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada kami.
“Tenanglah, situasinya sudah aman. Kita bisa istirahat,” bisikku pada pria yang berdiri di sampingku.
Kulihat Aaron segera melepaskan genggaman tangannya. Sejak tadi ia memegangi pedangnya dengan sangat erat. Wajahnya yang tegang, mulai terlihat sedikit melunak, walau masih putih pucat. Aku tak tahu apa yang terjadi padanya, ia tidak terlihat kokoh seperti biasanya.
“Aaron,apa kamu baik-baik saja?” tanyaku mengkhawatirkan keadaannya. Kutunggu beberapa saat, namun pria itu tidak menjawab. Aaron menutup mulutnya rapat-rapat lalu menyandarkan badannya pada pohon di belakang. Perlahan ia menjatuhkan dirinya di tanah.
“Aaron .…” kataku sambil merentangkan tangan. Berusaha menangkap badannya agar tidak terjatuh.
“Hahaha, kumohon jangan lakukan itu,” katanya menghindari bantuanku. Ya, pria gengsi menyebalkan itu tertawa, sayangnya ia tidak sedang bercanda. Suaranya terdengar menyebalkan sekaligus menyedihkan.
“Aaron, kamu ….”
“Hai Mia, kamu lapar?” sahut Elior sebelum aku menyelesaikan perkataanku.
Anak itu segera turun dari atas pohon, ia melompat ke tanah, lalu berlari-lari kecil mendekatiku.
“Aku lapar, Mia. Bisa temani aku cari makan malam?” kata Elior sambil menarik tanganku.
“Aku tak masalah, t-tapi bagaimana dengan Aaron? Kita tidak bisa meninggalkannya sendirian di sini,” protesku.
“Tenanglah, Mia. Kak Aaron bisa melindungi dirinya sendiri. Lihat saja pedangnya, tak ada satupun prajurit Arco Iris yang berani melawannya.”
“Kamu yakin?”
“Aku tidak apa-apa. Kalian pergi saja,” sahut Aaron. Aku bisa saja percaya padanya, jika nada bicaranya tidak terdengar tak bertenaga seperti itu.
“Ayo, tunggu apa lagi? Cepat pergi!” katanya lagi dan aku tidak ingin mendebatnya. Aku tidak tahu apa yang terjadi padanya, tapi selain kondisinya yang buruk, kurasa suasana hatinya juga.
“Mia, bisakah kamu memaafkan Kak Aaron,” kata anak itu saat kami berdua berjalan ke arah danau. “Dia tidak bermaksud seperti itu padamu, kurasa dia hanya … terlalu keras pada dirinya sendiri.”
"Aku mengerti Elior, aku mengerti. Ksatria gagah sepertinya pasti jarang menerima bantuan dari orang lain, ya, aku mengerti. Karena itu, kamu tidak perlu meminta maaf atas namanya. Jika dia merasa bersalah, dia bisa melakukannya sendiri. Dia akan menjadi seorang raja, akan lebih terluka jika ia tahu kamu melakukan itu dengan namanya."
"Baiklah, Mia," jawab Elior sambil tersenyum. “Memang tak banyak orang yang bisa mengerti kakakku. Aku sangat berterima kasih jika kamu bisa melakukannya.”
"Kamu terlalu berlebihan, Elior. Oh, kita sudah sampai.”
Kutatap hamparan air itu sekali lagi dan rasanya … sayang sekali. Seandainya situasinya tidak seperti ini. Seandainya saja, tidak ada asap kehitaman ini, mungkin pemandangan di danau akan terlihat sangat indah. Ditambah sedikit lantunan suara serangga nan syahdu, mungkin dengan kehadiran sedikit cahaya kunang-kunang, maka … oh Mia, apa yang kamu pikirkan? Liburan di pulau mimpi? Yang benar saja!