“Kumohon maafkan aku. Aku tidak sempat menyiapkan perayaan penyambutan khusus, atau sekedar menjamu dengan minuman manis tanda persahabatan. Tapi percayalah, aku sudah menunggumu sejak lama.”
Aku menggerakan tanganku perlahan, berusaha menyembunyikannya, sambil berharap agar tak ada satupun yang melihatnya bergetar.
“S-siapa kamu?”
Percayalah, tidak mudah bagiku untuk bicara seperti itu. Bagaikan kelinci yang masuk di dalam jebakan, aku sadar, aku tidak punya hak tawar menawar apapun dengan sang pemburu.
“P-pengecut, cepat t-tunjukkan dirimu!”
Aku akui, tidak selamanya pikiranku positif. Sempat terbersit untuk menyerah. Pasrah dan terima saja keadaan. Tapi, aku menolaknya. Aku sudah terbiasa berjuang. Aku tahu harapanku hanya setipis tissue, tapi setidaknya aku harus mencoba untuk kabur dari sini.
“A-ayo! A-apa yang kamu tunggu? Apa k-kamu takut?” tanyaku mencoba untuk menggertaknya. Walaupun kemudian kusadari, apapun yang keluar dari dari mulutku mungkin hanya terdengar seperti cicitan tikus di telinganya.
“Takut?” sahut suara itu. Ia tidak berteriak, bahkan tidak terdengar terganggu dengan provokasi yang kuucapkan. Dia tertawa. Ya, dia tertawa. Dia benar-benar membuatku merasa kecil di hadapannya. Sial, apa yang harus kulakukan?
“Ckckck, takut? Bagaimana mungkin aku takut dengan perempuan kecil sepertimu?” sahutnya lagi dengan suara yang lebih menyeramkan. Serak dan rendah.
Tiba-tiba saja kabut hitam di sekitarku bergerak. Berputar, bergulung semakin lama semakin cepat. Bagaikan berada di tengah puting beliung, asap-asap itu mengitariku, hingga tiba-tiba mereka semua lenyap, menghilang dalam sekejap.
Apa yang terjadi? Jujur, ada rasa lega saat penglihatanku kembali seperti sedia kala. Akan tetapi, rasa itu tidak bertahan lama. Kelegaan itu lenyap, saat kedua mataku terpaku pada sosok misterius yang bersembunyi dalam gelapnya gua.
Akhirnya aku tahu, siapa yang berkuasa atas kabut kegelapan ini. Dengan sedikit cahaya, kulihat tangannya bergerak perlahan, lalu kabut itu menuruti perintahnya. Siapa dia?
“Ada apa? Kenapa kamu jadi pendiam?” tanyanya padaku.
Suara langkah kaki terdengar semakin lama semakin dekat, membuat tubuhku bergetar semakin hebat.
“Bukankah kamu yang memintaku untuk menunjukkan diri? Kenapa kamu ketakutan seperti itu, perempuan kecil?” katanya saat berdiri di hadapanku.
Kutatap dia lekat-lekat, dan dengan bantuan cahaya dari buku petunjuk, akhirnya aku dapat melihat wujudnya dengan jelas.
Sosoknya tidak seperti apa yang kubayangkan sebelumnya. Badannya tidak tinggi besar, dia juga tidak terlihat seperti monster bergigi tajam. Badannya sedikit bungkuk, ditutupi oleh jubah hitam yang menjuntai ke bawah. Wajahnya kurus, bahkan tulang pipinya terlihat menonjol ke luar. Jemarinya yang kurus saling berangkulan. Matanya menghitam, bagai orang yang tidak tidur berhari-hari. Tapi yang paling khas darinya, adalah kumis dan janggut hitamnya yang memanjang hingga ke dada.
“Siapa kamu?” tanyaku sekali lagi. Tanganku mulai mengepal, bersiap untuk melawan jika dia berbuat macam-macam.
“Ah, kamu tidak tahu siapa aku?” tanyanya sinis.
Ia mendekatkan wajahnya padaku, memaksaku untuk melihatnya dengan lebih seksama.
“Lihat wajahku baik-baik! Apa kamu sungguh tidak mengenalku?”
Aku menatapnya lekat-lekat. Dahi, mata, hingga semua kerutan yang menghiasi wajahnya.
“Tidak,” jawabku.
“Hmmm,” gumamnya dengan seutas senyum sinis. Bola matanya bergerak dari atas ke bawah, memperhatikanku dengan lebih cermat. “Ah, pantas! Pantas saja kamu tidak mengenalku” ujarnya saat menatap buku petunjuk di tanganku.
“Apa Pak Ketua menitipkan pesan untukku?”
Deg!