"Semoga jatah keberuntunganmu tidak habis kali ini, sist."
"God Bless, Mia. Do your best, semangat!"
"Sukses selalu, Mia. Papa percaya kamu pasti bisa menjalani semuanya dengan baik!"
Itu adalah perkataan terakhir yang diucapkan keluargaku sebelum mereka meninggalkanku untuk selamanya. Pesan lembut yang entah kenapa, selalu terngiang dalam kepalaku selama dua bulan terakhir ini. Suara yang selalu menyemangatiku untuk tetap hidup, sekaligus menghantuiku kemanapun aku melangkah.
Apa yang sudah kulakukan? Bagaimana mungkin aku tak ada bersama mereka di akhir hidupnya? Aku terlalu sibuk dengan urusanku sendiri, dan sering mengabaikan mereka. Jangankan berlari dan memeluk mereka, aku bahkan tidak menoleh untuk sekedar melihat wajah keluargaku untuk yang terakhir kalinya.
Kini, hanya penyesalan yang tersisa. Rasa yang selalu muncul dan menggerogoti hatiku yang lemah ini. Tak sekali, dua kali, pikiran itu datang. Membisikkan kata-kata mengerikan yang terkadang terdengar begitu indah. Bagaimana jika aku mengakhiri semuanya? Menyerah saja, Mia. Pergi jauh dari dunia ini, dan berlari menyusul mereka. Apa yang harus kulakukan? Haruskah aku melakukannya? Apa Papa, Mama dan juga Rio, akan memaafkanku, bila aku menemui mereka, dengan posisi seperti seorang pecundang?
"Mia, ayo bangun! Mia ...."
Mama? Apa itu Mama?
"Mia, cepat bangun!"
Ya, itu suaranya. Suara menggelegar yang selalu menghiasi pagi hariku. Nada merdu yang telah lenyap untuk selamanya. Tak peduli sebesar apapun aku merindukannya, aku tidak akan pernah mendengarnya lagi.
"Mia, kumohon! Ayo Mia, BANGUN ...!"
Suara lembut ibuku perlahan menghilang, berganti dengan suara lain yang terdengar semakin lama semakin keras.
"Mia, Bangun! MIA!"
Perlahan semburat cahaya datang, membuatku tersadar dari tidur panjang. Mataku mulai terbuka, dan sayup-sayup aku melihat sosoknya berada tepat di hadapanku.
Ah, Elior. Aku tahu seharusnya aku mengeluarkan reaksi lain yang lebih positif, tapi saat ini hanya ada satu kalimat yang ingin kuucapkan. Sialan, mimpi ini masih berlanjut!