Suasana menjadi hening di dalam sel penjara. Aku duduk di pojok, sedangkan Elior duduk di sudut lainnya. Mata kecilnya terus memperhatikanku, seolah ia ingin mengucapkan sesuatu. Sedangkan aku? Aku mengacuhkannya. Aku bahkan membelakanginya, berharap jika anak itu mengerti, jika aku sedang tidak ingin diganggu.
Air mataku sudah berhenti mengalir, tetapi bukan berarti aku baik-baik saja. Kukira setelah meluapkan amarah maka perasaanku bisa lebih tenang. Tapi ternyata, tidak demikian.
Kosong, sepi. Aku benar-benar sendiri. Pa, Ma, Rio apa yang sedang kalian lakukan di sana? Apa kalian sedang berkumpul bertiga? Oh betapa menyenangkannya. Teganya kalian pergi meninggalkanku di dalam penjara dingin dan gelap ini. Di mana kalian? Apa kalian sudah melupakanku? Aku juga ingin ikut berkumpul dengan kalian.
"Tok, Tok, Tok."
Tiba-tiba suara hantaman benda keras terdengar nyaring. Mataku mulai mencari apa yang sedang terjadi. Aku membalikkan badan, dan ….
"Elior, apa yang kau lakukan?" tanyaku pada anak itu.
“Kejadian semalam bukan salahmu, Mia,” jawab Elior sambil memandangku.
“A-apa?”
“Baik aku maupun Kak Aaron, kami tidak pernah menyalahkanmu atas kejadian semalam. Kami tahu kamu punya misi yang harus diselesaikan, dan kami mengikutimu atas keinginan kami sendiri, jadi itu bukan salahmu,” jawab Elior sambil mengetuk-ngetuk pintu penjara dengan sebuah batu mungil di tangannya.
“Tok, tok, TOK!” Suara hantamannya terdengar semakin keras.
“Elior, kumohon hentikan ….”
"Aku tidak bisa duduk diam dan membiarkan mereka melakukan hal buruk pada kakakku. Setidaknya aku harus berusaha, Mia. Sebelum semuanya terlambat."
"Sudahlah Elior, tidak ada yang dapat kita lakukan. Tidakkah kamu lihat? Pintu penjara ini terlalu besar untuk dijebol seorang wanita dan anak kecil. Hanya keajaiban yang dapat menyelamatkan kita," kataku memperingati Elior.
"Baiklah … kalau begitu, akan kudatangkan keajaiban itu!”
“Jangan naif, Elior! Tidakkah kamu lihat apa yang terjadi padaku? Sekeras apapun usaha yang kulakukan, pada akhirnya kita tetap berakhir di sini. Aku sudah melakukan segala sesuatu yang diperintahkannya, dan dia mengkhianatiku. Dia menaruhku di tempat yang sangat gelap. Lalu keajaiban apa yang bisa aku harapkan? Keajaiban hanya ada dalam dongeng imajinasi, tidak di dunia nyata.”
“Mia, bagaimana mungkin kamu bisa berpikir seperti itu?" jawab Elior. Matanya melotot, dia tidak terima dengan ucapanku. "Aku tidak tahu siapa yang membuatmu jadi seperti ini. Aku tidak peduli siapa yang mengkhianatimu dan menaruhmu di sini. Satu hal yang kutahu, masih ada waktu untuk berjuang dan aku tidak bisa merelakan Kak Aaron pergi begitu saja," lanjut Elior kesal.