Kunaiki setiap anak tangga, hingga kulihat cahaya terang lagi.
Dunia serasa melambat saat kakiku kembali menginjak tanah. Kutarik nafasku dalam-dalam, kuhirup aroma kebebasan. Mataku menjelajah ke setiap sudut, dari kastil megah depan, menara tinggi di sisi lainnya, belum lagi gerbang besar di sudut sebelah sana, semua yang ada di mataku terlihat luar biasa.
Jujur, ada beragam rasa saat aku menatap semua pemandangan itu. Walaupun langit tidak biru seperti yang kuharapkan, tapi cahaya yang terpancar dari atas cukup membuatku sedikit lebih lega. Aku bisa saja menikmati kebebasan ini lebih lama, jika tidak ada bunyi genderang yang terdengar semakin riuh. Tanda jika acara eksekusi akan segera dimulai.
“Sial, mereka sudah mulai memadati plaza istana,” sahut Elior.
Benar kata anak itu, banyak orang berbondong-bondong memenuhi lapangan besar di depan.
“Ayo, Mia!” sahut Elior. Anak itu menarik tanganku, lalu kami mulai berlari.
Aku mengikuti kemanapun kaki pangeran kecil melangkah. Anak itu bergerak cukup cepat, kami harus bergegas menuju arena eksekusi, atau …. Oh sial! Apa yang mereka lakukan? Dari arah belakang kulihat beberapa orang penjaga mulai berhamburan dari gerbang penjara bawah tanah, mereka mengejar kami.
“Elior, lebih cepat!” Aku tahu anak itu sudah berusaha sekuat tenaga, aku hanya … panik. Aku memang tahu cara menonjok, tapi … sebanyak itu? Aku yang bonyok jika dikeroyok orang sebanyak itu. Percayalah, tanpa rencana yang matang, mereka akan menjadikan kita daging cincang dengan sangat mudah.
“Tangkap kedua buronan itu! Mereka kabur dari penjara,” teriak salah satu dari mereka dan kini semua prajurit yang bertugas mengamankan plaza istana ikut beralih pada kami. Mereka mulai bergerak, menghalangi sekaligus berusaha menangkap kami dari semua arah.
“Elior, kita harus cari cara lain. Kita tidak mungkin menginjakkan kaki ke dalam lapangan jika semua pasukan di sana berusaha menangkap kita,” kataku sambil melompat melintasi palang kayu yang menghalangi jalanku. Fiuh, aku bisa saja menabraknya jika kurang konsentrasi. “Elior?”
“I-Iya, Mia! Aku mengerti,” kata anak itu sambil mengusap peluhnya. Langkahnya mulai melambat, dan nafasnya berantakan.
“Elior, kamu tidak apa-apa?”
“A-aku tidak apa-apa, Mia!” jawab anak itu dengan muka merahnya. Kuharap anak itu benar-benar baik-baik saja.
Kami segera belok berganti arah karena hadangan para prajurit. Seperti tikus yang masuk ke sarang kucing, kami berlari kesana kemari seperti tanpa arah, hingga nafasku sudah mulai sesak. Jika kondisinya begini terus, jangankan menyelamatkan Aaron, baik aku dan Elior, kami juga tidak akan bertahan.
“Ah, lewat sini, Mia!” teriak Elior ketika anak itu melihat ada sebuah pintu yang terbuka.
Kami berdua masuk ke dalam dan …. Wow, wow! Tempat apa ini? Beberapa pria menatap kami seperti melihat korban sembelihan. Badannya besar-besar dan sialnya mereka semua menggenggam senjata tajam. Pisau, golok, bahkan ada pula yang memegang garpu besar, tapi yang paling menyeramkan adalah pria berkumis yang ada di dekat perapian di belakang.
“G-Gary … kumohon! T-tolong, jangan biarkan para prajurit itu masuk ke sini,” sahut Elior pada mereka. Bicaranya sedikit berantakan, nafasnya terengah-engah. Kurasa Elior pun sudah pada batasnya.
“Siap!” kata mereka. Tak butuh waktu lama, mereka segera beranjak dan menutup pintu rapat-rapat.