Mimpi Mia Semalam

Bebekz Hijau
Chapter #21

Bab 20. Raja yang Sesungguhnya

Duh, mereka lagi.

Setelah semua hal gila yang terjadi, kabur dari penjara, lari-lari ke istana, bahkan jantungku hampir berhenti saat melihat Aaron berdiri di bawah tiang gantungan. Kurasa sedikit waktu istirahat tidak terlalu muluk untuk didamba. Sayangnya, prajurit-prajurit itu tidak membiarkanku menarik nafas lega walau untuk sebentar saja.      

Aku tidak tahu apa yang mereka lakukan, tetapi mereka berhasil menghancurkan pintu besar itu. Runtuh sudah satu-satunya pembatas antara kami, dan kini semua pasti bisa menduga apa yang akan terjadi.

“Tangkap kedua buronan itu!” teriak kepala pasukan dan sesuai perintah, mereka bergerak masuk. Prajurit-prajurit itu berbaris mengelilingi aku dan Elior. Mereka sungguh siap  menangkap dan mengembalikan kami ke penjara gelap.

"Elior, dengarkan aku baik-baik,” bisikku pada anak itu. “Aku akan berusaha menahan mereka, dan kamu … cobalah berlari secepat mungkin. Kamu harus cepat pergi dari sini, mengerti?”

"Tidak, Mia.” 

Anak itu membantahku. Bola matanya berbinar tajam, menegaskan keteguhan hati. Aku menatapnya lekat-lekat, tidakkah ia lihat? Pipinya yang masih lebam kebiruan, bekas pukulan yang diterimanya dari penjara. Aku tidak tahu apa yang ada di dalam pikirannya, tapi tidakkah dia paham situasinya? Di saat ini kami tak punya waktu untuk berdebat.

“Elior ….”

“Tidak, Mia,” jawabnya sekali lagi. “Kamu tidak perlu khawatir, aku tidak berniat mengorbankan diriku seperti sebelumnya. Aku akan menjaga jarakku dengan mereka. Tapi, biarkan aku di sini. Aku tidak akan pergi meninggalkanmu seperti seorang pengecut. Dengan ini, izinkan aku membantu, walau hanya sedikit," jawab Elior sambil mengangkat ketapel kecilnya.

Ada sedikit keraguan dalam hatiku. Aku sudah melihat kemampuannya, permainan ketapelnya luar biasa, hanya saja … apa aku tidak akan bisa memaafkan diriku sendiri bila terjadi sesuatu dengannya?

“Ayo, Mia! Pertarungan sudah dimulai,” lanjut Elior sambil mengarahkan ketapelnya ke salah satu prajurit. Karetnya terlepas, dan peria besar itu langsung jatuh ke tanah. Aku menatap anak itu sekali lagi, kuakui dia luar biasa.

“Sial, tangkap mereka, dan jangan beri ampun!” teriakan keras bergema, pertarungan besar sudah tidak bisa terelakkan lagi.

Aku memukul dan menendang seperti kesetanan. Pertarungan ini sungguh tidak adil untukku. Para prajurit itu membawa semua senjata mengerikan yang mereka punya, sedangkan aku hanya memiliki tangan kecil ini.

Mereka bukan tandinganku. Aku harus mencari celah, sebuah kesempatan untuk kabur dari sini. Tapi harapanku tidak akan berjalan mulus. Kami terpojok di pinggiran Balkon. Posisi kami cukup terdesak. Baik aku maupun Elior, tidak ada yang dapat melarikan diri ke mana-mana. Sedikit kesalahan saja, habislah kami semua.

“Mia, Elior?” Kudengar suara Aaron memanggil nama kami berulang-ulang.

“Apa yang terjadi? Apa kalian baik-baik saja?” teriaknya dari bawah sana.

Aku tidak tahu bagaimana cara menjawab pertanyaannya. Sesungguhnya aku lebih butuh bantuan daripada pertanyaan. Tapi di sisi lain … aku juga memaklumi posisinya. Pertarungan ini tidak terjadi di atas sini, tapi juga di bawah sana. 

Kudengar teriakan keras, suara-suara pemberontakan banyak orang. Mereka yang ada di pihak Aaron mulai melawan. Mereka ikut menghadang para prajurit suruhan Trauman.

Walaupun lebih beruntung dariku, tapi sepertinya Aaron juga tidak pada posisi terbaik. Sejak tadi kulihat ia tidak berhenti menebaskan pedangnya. Kuakui, pria itu memang seorang petarung ulung, gerakannya cepat. Bagaikan macan murka, ia menyerang membabi buta dan tidak ada satupun yang bisa mengalahkannya. 

“ELIOR? MIA?” teriaknya lebih keras lagi. “Kalian baik-baik saja?”

“Aku tidak apa-apa. Kak Aaron fokus saja di bawah sana,” jawab anak itu sambil melepaskan ketapelnya. Kuakui anak itu juga luar biasa. Dia membidik prajurit-prajurit itu ke bagian kepala, hingga siapapun yang terkena tembakannya hampir tak ada yang sadakan diri.

“Mia, bagaimana denganmu?” teriak Aaron.

“Hei bodoh, maaf aku tak punya waktu untuk berbincang. Aku sibuk!” jawabku kesal. Tidakkah dia lihat, aku sedang menonjok? Mungkin sebaiknya aku mulai berpikir untuk mencuri senjata yang bisa kupakai. Baik tangan dan kakiku sudah mulai nyeri.

Lihat selengkapnya