Mimpi Mia Semalam

Bebekz Hijau
Chapter #23

Bab 22. Monster Mengerikan Bernama Kasselam

Tatapanku tak bisa lepas dari makhluk mengerikan itu. Burung hitam besar, gelap pekat seperti malam. Tubuhnya tidak  tertutup bulu layaknya burung lainnya, melainkan dipenuhi oleh gumpalan asap. Matanya merah menyala, paruhnya tajam dan panjang, bahkan gigi-giginya terlihat sangat tajam. 

Teriakannya mengerikan, monster itu menggeliat kesakitan. Tebasan pedang cahaya milikku sungguh membuatnya kerepotan. Sesekali ia mengepakkan sayapnya, lalu menatapku lekat-lekat. Baiklah, aku paham. Sepertinya aku telah membuat suasana hatinya memburuk.  

“Mi-Mia, kamu b-bisa melihatnya? Kamu bisa melihat K-Kasselam?” tanya Elior yang meringkuk di samping. Bicaranya tidak seperti biasanya, ia terlihat gugup, bahkan tangan mungilnya tak bisa berhenti gemetar. 

“Hmmm,” gumamku sambil mengangguk. “Ya, aku bisa melihatnya, burung hitam yang … menyebalkan!”

Aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi semenjak kristal milikku bersinar, aku bisa melihat keseluruhan wujudnya. Di hadapan cahaya terang  semua terlihat jelas, tidak ada kegelapan yang bisa bersembunyi darinya. 

“Dasar Pak Ketua,” bisikku sambil tersenyum, sedikit berharap agar pria besar berjanggut itu bisa mendengar kelakarku di manapun dia berada. Sungguh tidak menyangka jika dia akan ‘pamer’ keajaiban seperti ini. Dia memberikanku sebuah benda kecil yang terlihat tidak berguna, lalu tiba-tiba mengeluarkan cahaya, dan sekarang kristal pemberiannya menjadi kunci untuk kemenangan kami. Sial bukan, dia tidak memberitahuku apa-apa tapi ternyata dia sudah merencanakan semuanya. 

"APA YANG KAMU LAKUKAN?" teriak Trauman pada monster miliknya. "HABISI MEREKA SEMUA, KASSELAM! ATAU KUTEBAS LEHERMU DENGAN PEDANGKU SENDIRI!"

Benar saja, setelah mendengar perintah majikannya, monster itu mulai mengamuk. Ia mengepak-ngepakkan sayap besarnya dan bersiap-siap untuk menyerang kami.

Akupun demikian. Kugoyangkan pedang cahayaku ke kiri dan kanan. Ringan dan nyaman dalam genggaman. Masih tidak tahu kejutan apa lagi yang bisa keluar dari kristal ini, tapi untuk sekarang, sepertinya ini cukup untuk menghabisi burung itu.

“Siap, Elior?” tanyaku pada anak itu. Aku menunggu kesiapan anak itu untuk membantuku, tapi tapi bukan jawaban yang kudapat, melainkan tarikan kecil di bajuku.

“M-Mia … aa-aku …,” katanya sambil menarik bajuku. Wajahnya pucat, bulir-bulir keringat menetes cukup banyak di dahinya. Anak itu benar-benar ketakutan.

"Elior, kamu tidak apa-apa?” tanyaku khawatir.

“M-Monster i-itu … d-dia sangat menyeramkan. Dia m-menghantuiku kemanapun aku pergi. D-dia bisa … m-muncul dimana s-saja. Dari balik pintu, di kolong tempat tidur, d-dalam lemari, di s-semua tempat gelap.”

Aku tidak tahu apa yang telah terjadi antara Elior dan monster ini, tapi sepertinya mereka punya sejarah panjang.

“Lepaskan kristal itu dari tanganmu,” bisikku pada anak itu. “Tanpa cahaya dari kristal raja di tanganmu, kamu tidak akan bisa melihatnya.”

“M-Mia ….”

“Lakukan itu jika kamu takut padanya, tapi saranku, coba kumpulkan keberanianmu wahai Raja Kecil. Aku tidak tahu apa yang monster itu lakukan padamu, akan tetapi bukankah di penjara gelap tadi, kamu yang mengajariku tentang keajaiban? Jadi … hadapi ketakutanmu dan hancurkan monster itu. Lawan, sampai dia tidak berarti apa-apa lagi bagimu. ”

Elior terdiam, dia tidak menjawab. Tubuhnya masih gemetar, walau sudah terlihat lebih tenang. Kurasa Elior perlu waktu untuk menentukan pilihannya, tapi bagiku … pertarungan besar ini sudah tak bisa terelakkan lagi.

Kutatap monster itu, matanya yang merah mengarah tajam padaku.  Kepalanya mulai bergoyang, dan sayapnya mulai menekuk, burung itu siap untuk menghabisiku.

“Baiklah burung jelek! Ayo kita mulai!”

Aku berteriak sekencang mungkin, lalu berlari ke arahnya. Aku mengangkat pedang cahayaku tinggi-tinggi bersiap untuk menghabisinya dan sama sepertiku, burung besar itu pun maju tanpa rasa gentar. 

Aku  melompat ke kiri, lalu segera berguling ke depan. Serangannya buas membabi buta, untungnya ukuran tubuhku jauh lebih kecil darinya. Dengan sedikit akrobatik di antara kedua kakinya, aku bisa menghindari paruh menyeramkan itu.

Burung itu mengamuk, ia semakin menggila. Gerakannya semakin cepat, tenaganya bertambah dahsyat. Lihatlah lantai yang baru saja digempurnya, semuanya hancur menjadi puing.

Aku tetap pada strategiku. Aku akan menghindar dan terus menghindar, sambil menanti kesempatanku datang. Aku kembali melompat, dan monster itu tampak kewalahan, dia tak menyangka gerakanku cukup cepat.

Baiklah, sekarang giliranku burung jelek! Kuangkat pedang cahayaku setinggi-tingginya, lalu kutebaskan ke salah satu sudut di kakinya. 

“Terima ini!” teriakku puas.

Seketika itu juga, monster itu mengerang kesakitan. Sayapnya terus mengepak hingga menimbulkan arus angin yang cukup besar. Awal yang baik, rasa percaya diriku naik, akan tetapi … semua tidak semudah yang kubayangkan.

“T-tidak mungkin!” bisikku ketika melihat apa yang terjadi dengan burung besar itu. Tiba-tiba saja gumpalan asap hitam keluar dari dahinya, berputar mengelilingi luka di kakinya. Tak perlu waktu lama, monster itu kembali utuh seperti sedia kala.

Lihat selengkapnya