Mimpi Mia Semalam

Bebekz Hijau
Chapter #24

Bab 23. Takdir Seorang Pecundang

"Mia, Mia!”

Aku mendengar suara, lantang keras memanggil namaku. Nadanya berulang, membuat kedua mata ini mulai terbuka. Kutarik nafasku dalam-dalam, bersiap untuk menatap keputusan yang telah ditetapkan-Nya untukku.

“Mia, apa kamu baik-baik saja?" sahut suara itu saat mataku terbuka sempurna. 

Ah, aku masih di sini. Masih ada dalam mimpi. Jujur, rasanya benar-benar lega, t-tapi ….

“E-Elior, apa yang terjadi?”

“Kita berhasil, Mia! Kita berhasil! Peluruku mengenai dahinya, kita berhasil!” sahut anak itu riang.

B-berhasil?

Kini, kedua mataku tertuju pada monster itu. Ia mengerang kesakitan. Mata merahnya mulai berubah hitam dan gerakannya sangat kacau. Kasselam mengepak-ngepakkan sayapnya kesana kemari seperti burung gila. 

“Apa yang terjadi?”

“Entahlah,” jawab anak itu. “Satu yang kutahu, peluruku membuat benda kecil di dahinya terpental, lalu kamu bisa lihat apa yang sedang terjadi pada burung besar itu.”

Burung itu memekik kesakitan,  setiap jengkal tubuhnya melebur, menguap menjadi asap-asap hitam yang perlahan terhisap masuk ke dalam benda mungil yang tergeletak di lantai. Hingga akhirnya seluruh badannya musnah dan monster itu pun lenyap tak bersisa.

Aku bangkit berdiri, lalu berjalan mendekati benda ajaib itu. Sedikit penasaran, kira-kira benda seperti apa yang ada di dahi monster menyeramkan itu. Kupungut benda itu dari lantai, dan … oh sial, ternyata benda ini.

Ya, bukan barang asing, hanya benda yang sama dengan milikku. Sebuah kristal pemberian Pak Ketua, kecil, mungil, bahkan bentuknya tidak jauh berbeda dari kristal di tanganku, hanya saja benda itu berwarna hitam legam, bahkan sedikit retak. 

Sayang sekali, tidak seharusnya benda luar biasa ini berubah menyedihkan seperti ini.

"K–kamu pasti tidak pernah merasakannya!" ujar suara serak dari ujung sana. Suara yang dulu begitu menyeramkan, tapi sekarang terdengar lemah menyedihkan. 

"Ha, ha, ha, Ya, anak kecil seperti kalian semua, tidak akan mungkin merasakan … bagaimana hidup sebagai seorang pecundang," lanjut Trauman sambil menertawakan dirinya sendiri.

Seketika ruangan menjadi hening. Baik aku maupun Elior, tidak ada satupun dari kami yang berniat  untuk menyela ungkapan kecewanya. Pastinya pria itu tidak terima saat tahu monsternya telah musnah. Sudah tidak ada lagi yang bisa dilakukannya, dan kuharap Trauman menyerah. Kuharap dia sadar jika ia sudah benar-benar habis.

"Kalian pasti tidak pernah merasakannya. Menjadi seorang anak yang ditinggalkan di panti asuhan oleh ibunya sendiri, karena tidak punya biaya. Hahaha, lucu bukan? Bahkan ibuku sendiri, meninggalkanku. Ia membuangku seperti sampah," lanjut pria itu dengan suara yang lebih rendah dari sebelumnya.

Pria itu duduk di lantai, parah dengan keadaan. Sambil terbatuk-batuk, matanya mulai melayang ke dalam ingatan. Saat ini, wajahnya benar-benar terlihat  seperti boneka rusak yang dibuang oleh pemiliknya.

Lihat selengkapnya