Aku menatapnya lekat-lekat, manusia menyedihkan yang meringkuk pasrah di hadapan.
Sungguh tidak menyangka, akhirnya untuk pertama kali, aku mengerti mengapa Pak Ketua memilih manusia sepertiku. Untuk pertama kalinya, selama misi mimpi ini berlangsung, aku menyadari jika aku memang orang yang tepat untuk menjalankannya. Di luar apapun itu, suka atau tidak, aku dan dia tidak jauh berbeda. Kami sama-sama … menyedihkan.
Aku mengangkat pisau itu ke atas, dan kejadian berikutnya adalah murni keputusan dari hati yang paling dalam. Aku segera melemparkan benda itu, jauh melambung ke tempat yang tak tergapai.
“Aku tidak sebaik itu,” sahutku padanya. “Aku tahu apa yang kamu inginkan, dan aku tak sudi mengabulkannya.”
“A-apa?” jawab Trauman gugup. Dia tampak terkejut, sedikit tidak menyangka jika aku memilih untuk membuang pisau itu, daripada menggunakannya untuk menghukum.
“B-bukankah kamu membenciku? Apa kamu lupa, siapa dalang dari semua kekacauan ini? Tidakkah kamu marah padaku? Ohoho, jangan naif, anak kecil. Kamu tidak berpikir jika aku akan berubah, bukan? TIDAK! Aku berjanji, selama aku hidup, aku akan berusaha untuk menghancurkan tempat ini. Jadi, bukankah lebih baik kita mengakhiri semuanya? Cepat ambil pisau itu, dan hentikan nafasku! Aku … tidak sudi hidup menjadi pecundang,” teriaknya frustasi.
“Ya, aku tahu betapa liciknya dirimu. Tapi sama sepertimu, aku juga bukan orang yang baik. Aku tidak sudi memberikan apa yang kamu inginkan, saat aku juga berjuang dengan diriku sendiri. Jadi, maaf, beribu-ribu maaf, aku tidak bisa melakukannya. Aku tidak bisa mengabulkan permintaan menyedihkan seperti itu," jawabku padanya.
"Permintaan menyedihkan?” bisiknya angkuh seperti biasa. “Hahaha, tahu apa kamu, anak kecil? Kamu tidak tahu apa-apa, jangan berlagak seperti ...."
"Seperti aku tahu semua tentangmu?" sahutku memotong perkataannya. “Jujur, aku memang tidak tahu apa-apa. Aku tidak tahu siapa kamu, dan hidup seperti apa yang pernah kamu lalui. Tapi tidakkah kamu lihat? Kita sama! Kita memiliki buku, juga kristal yang serupa. Kita berdua sama-sama dikirim Pak Ketua untuk masuk ke dalam bola mimpi untuk menjalankan misi tertentu. Kurasa kita berdua adalah orang yang paling paham, isi kepala Pak Ketua yang aneh itu."
“Cih,” sahut Trauman. Aku tidak tahu apa aku melakukan kesalahan hingga dia harus meludah seperti itu. “Naif! Kamu pikir …. karena Pak Ketua memperlakukan kita sama, lalu kamu bisa menyimpulkan jika kita serupa? Yang benar saja!”
"Kamu ingin mati, bukan?” lanjutku percaya diri. Seketika itu juga pria itu terdiam, sinar matanya berubah, menunjukkan jika dugaanku benar.
“Kamu benci hari-harimu dan semua yang ada di dunia ini. Impian, juga harapanmu musnah, hidupmu terasa sia-sia. Semua kerja kerasmu seolah tidak ada artinya. Keluargamu pergi meninggalkanmu, kamu kehilangan semua orang yang kamu cintai. Tidak perlu terlalu sombong, penderitaan semacam itu bukan hanya milikmu seorang. Takdir menyedihkan itu bukan hanya terjadi padamu saja. Aku juga! Aku merasakan hal yang sama."
Jujur, aku tidak tahu dari mana kata-kata itu berasal. Bukan seperti pidato yang sudah dipersiapkan sebelumnya, hanya pernyataan sederhana tulus dari dalam hati. Aku hanya ingin dia tahu bahwa dunia yang kejam padanya, juga tidak selalu baik padaku. Tidak ada satu orangpun yang bisa luput dari masalah dan penderitaan. Kami semua hanya bisa hidup sesuai dengan porsinya masing-masing.
"Keluargaku, m-mereka .…"
Sial, bibirku mulai bergetar. Bahkan untuk mengatakannya saja, terasa sangat menyakitkan.