Mimpi Mia Semalam

Bebekz Hijau
Chapter #26

Bab 25. Sudah Waktunya Pulang

Aku menarik nafas panjang, dan menghembuskannya perlahan. Langit tampak bersinar cerah, semuanya kembali dipenuhi warna warni indah. Akhirnya selesai sudah, misiku di tempat ini berakhir. Satu yang kuharap, semoga Pak Ketua puas dengan hasilnya.

“Mia …!” 

Elior segera berlari ke arahku, dia memeluk dengan erat.

"Hai, Raja Kecil. Bagaimana? Sudah siap menyambut takdirmu?" tanyaku pada anak itu.

“Aku tidak peduli dengan semua itu, Mia. Aku hanya … senang melihatmu baik-baik saja,” jawab anak itu penuh ketulusan.

Tanpa terasa, bibirku menyunggingkan seulas senyum. Dengan semua yang terjadi dalam hidupku ini, dengan segala kesukaran yang kulalui, rasanya cukup bersyukur saat mendengar seseorang mengkhawatirkanku seperti layaknya keluarga.

“Plok!” 

Ya ampun, apa lagi ini? Sebuah benda hangat yang tiba-tiba hinggap, mencengkeram kepalaku dengan lembut. Aku segera menoleh, dan ternyata, itu adalah telapak tangannya.

“Ya, aku setuju dengan adikku,” sahut Aaron yang entah berapa lama sudah berdiri di sampingku. “Jujur,  aku juga lega melihatmu baik-baik saja,” lanjutnya 

Ok, akan kumaafkan. Walaupun tangannya cukup berat, tapi ….

“Aaron, kamu tidak apa-apa?” tanyaku saat melihat pelipisnya yang berlumuran darah. 

Aku segera memegang wajahnya. Pria itu cukup tinggi, aku harus memegangi pipinya erat-erat agar ia menunduk, membuatku bisa melihat lukanya dengan jelas.

“Lukanya tidak terlalu besar, tapi … apa ini sakit?” tanyaku pada pria itu.

“S-sakit? Hahaha, sakit? Tentu saja tidak. Aw …!” 

“Aw? Ckckck, katanya tidak sakit,” goda Elior saat melihatku menyentuh luka kakaknya.

“M-maksudnya … sakit s-sedikit, ya hanya sedikit,” sahutnya sambil menghindari sentuhan tanganku di pelipisnya.

“Dari hati terdalam, aku benar-benar minta maaf. Seharusnya semua ini tidak perlu terjadi, jika malam itu aku menuruti saranmu. Andai aku tidak menuruti buku itu dan tetap bersama kalian, maka semua ini tidak akan terjadi.”

“Sudahlah, Mia,” jawab Aaron dengan sedikit senyum di bibirnya. “Anggap saja jalannya memang harus seperti itu. Kadang kita harus masuk ke dalam penjara kelam, atau bahkan hampir mati di tiang gantungan untuk bisa menyadari apa yang paling penting dalam hidup ini. Dan dari semua pengalaman buruk itu, aku cukup bersyukur, pada akhirnya kita semua baik-baik saja.”

“Terima kasih, atas pengertiannya Aaron,” jawabku penuh rasa syukur. “Eh, tapi … kenapa kamu mengikuti aku malam itu? Tahukah kamu, beratnya rasa bersalah yang harus kutanggung karena sudah membawa kalian dalam bahaya?”

“Entahlah, tapi menurutku itu adalah keputusan yang terbaik yang kubuat,” jawabnya santai. “Setidaknya aku tahu di mana kamu berada. Tahukah kamu, beratnya rasa bersalah yang harus kutanggung, bila terjadi sesuatu padamu di malam itu?”

T-tunggu … sihir apa ini? Dia tidak menggunakan kosa kata baru. Aaron hanya memutar balikkan kata-kataku, tetapi ketika mendengarnya, seluruh darahku serasa naik semua ke kepala.

“E-ehm ….” 

Suara dehaman keras menggema dari arah belakang. Membuat kami semua menoleh ke belakang, mencari tahu apa yang terjadi di sana. Sedikit terkejut saat menatap gerombolan prajurit sudah menanti di sana.

"Hei-hei, aku tidak harus adu jotos dengan mereka lagi, kan?" tanyaku kepada kedua pangeran itu.

"Entahlah,  tetapi jika harus, aku akan meladeni mereka dengan senang hati," jawab Aaron. Ia membungkuk, lalu tangannya mulai bergerak, menggenggam pedang yang tergeletak di lantai. 

"Salam kepada kedua pangeran!" teriak seorang prajurit yang berdiri paling depan. Ah, aku ingat! Dia adalah kepala prajurit yang kutemui di hutan.

"SALAM KEDUA PANGERAN!" kata para prajurit sambil membungkuk. Syukurlah, kami tidak perlu adu jotos lagi.

"Hei, hei, hei, jangan kira permasalahan kita berakhir begitu saja!” sahut Aaron tidak terima. “Aku tidak akan berdamai, sampai kalian membebaskan Ibuku, dan anggota kerajaan lain yang kalian tangkap karena perintah Paman Trauman."

Tiba-tiba saja barisan prajurit terbuka, dan seorang wanita paruh baya berjalan di tengah. Peragainya anggun, wajahnya terlihat cantik walaupun sedikit sembab. Rambutnya sedikit berantakan, walau demikian pesonanya tetap sempurna. Ia bak ratu dalam cerita-cerita dongeng. 

“Bu,” panggil Elior. Anak kecil itu segera berlari, langkahnya berayun cepat, menghampiri perempuan itu. Anak itu merangkulnya erat-erat. Begitu kencang seolah tidak mau melepaskannya.

Bukan hanya Elior, demikian pula dengan Aaron. Dia mulai berjalan mendekat, membungkuk, lalu perlahan lelaki itu merentangkan tangannya, dan mereka bertiga pun berpelukan.

“Oh, anakku. Maafkan Ibu, Nak,” bisik wanita itu. “Seharusnya, dari awal Ibu mempercayai kalian. Seandainya … saja waktu bisa diulang. Aaron, Elior, kalian baik-baik saja? Oh, Ibu hampir gila saat mendengar mereka akan mengeksekusi Aaron di plaza istana.”

“Tenanglah, Bu. Semuanya sudah berakhir. Paman Trauman dan monsternya sudah tidak di sini lagi. Arco Iris sudah kembali seperti sedia kala,” jawab Aaron.

“Ya, Bu. Asap hitam itu musnah, pelangi sudah muncul di langit. Dan … semua ini terjadi, juga berkat bantuan Mia,” lanjut Elior.

“Mia?” tanya wanita itu.

Kedua pangeran bersaudara itu saling bertatapan. Perlahan mereka bergerak mundur ke belakang, dan berdiri tepat di sampingku. Yang satu di kanan, yang lain di sisi sebelah kiri. 

Lihat selengkapnya