Mimpi Riana & 22 KM

Restia Bela Pertiwi
Chapter #1

Anak Rantau

"Jika perjalananmu bernasib buruk, maka anakmu ini akan jadi penggantimu." (Duka 1979)


Seorang perempuan muda tampak meringis kesakitan sambil memegang perutnya yang besar dan wajahnya tampak menahan rasa sakit yang begitu besar.

Sepertinya dia akan melahirkan. Keringat tampak mulai membanjiri tubuhnya yang berwarna kuning langsat. Sesekali seorang laki-laki berambut ikal menghapus keringat perempuan itu dengan penuh kesabaran, lalu memberi isyarat kalau dia juga merasa prihatin pada keadaan perempuan itu. Sekarang mereka berada di rumah bidan desa untuk proses bersalin.

"Sabar ya, Bu. Sebentar lagi Bu Noninya akan datang," kata laki-laki itu.

"Perutku sakit, Yah. Pinggangku juga, " ucap perempuan muda yang berusia dua puluh lima tahun itu seraya memegang perutnya.

"Banyak istigfar ya, Bu. Baca doa nabi Yunus. Semoga Allah memudahkan proses kelahiran ini." Laki-laki itu mencoba menuntun istrinya untuk membaca istigfar dan doa nabi Yunus.

Kemudian seorang perempuan paruh baya berjalan tergopoh-gopoh. Lalu mendekati mereka dan berkata "Sabar ya, Bu. Bu Noninya sebentar lagi datang. Tadi beliau sudah titip pesan untuk menunggu sebentar," lalu dia melanjutkan perjalanan ke dapur.

Tidak lama kemudian seorang bidan datang dengan tergesa-gesa membawa perlengkapan melahirkan.

"Maaf, Bu Aisyah agak lama menunggu. Bagaimana kondisi Ibu sekarang?" Bidan itu menyapa perempuan bernama Bu Aisyah dengan lembut sambil memegang tangannya.

"Ya Bu, rasanya sakit sekali dan sepertinya saya mau melahirkan, Bu," jawab Bu Aisyah pada Bidan Noni.

"Ayah keluar ya, Ibu bidannya mau periksa dan mana tahu anak kita mau lahir sekarang," pinta Bu Aisyah pada laki-laki yang ternyata itu adalah suaminya.

"Tapi Ibu tidak sedihkan? Kalau cuma berdua dengan Ibu Bidannya," ujar suaminya Bu Aisyah, namanya Gunawan.

" Ya, Ayah." Bu Aisyah tersenyum.

Akhirnya laki-laki berambut ikal itu keluar sementara Bidan Noni langsung memeriksa perempuan muda yang sejak tadi menahan rasa sakit. Tidak lama kemudian terdengarlah tangisan anak bayi dari dalam ruangan.

“Alhamdulillah, selamat ya, Bu Aisyah. Anaknya perempuan,” ujar Bidan Noni. Noni adalah bidan desa yang sudah lama tinggal di daerah itu. Dia telah lama kenal dengan Bu Aisyah. Seorang ibu muda yang jauh datang dari dari Ranah Minang dan mengadu nasib ke Tanah Rencong ini.

“Masya Allah putri Ibu cantik sekali. Kulitnya juga putih bersih.” Bidan Noni terus memuji bayi kecil yang baru saja lahir dari seorang ibu muda yang pekerja keras sambil tersenyum.

“Alhamdulillah.” Bu Aisyah sangat bahagia dan bersyukur karena baru saja berjuang untuk melahirkan anak kelimanya. Namun, dia tampak sangat pucat dan kelelahan. Dia hanya tersenyum melihat bayi kecil yang selama ini ada di rahimnya telah lahir dengan selamat dan sempurna atas pertolongan Allah dan bantuan Bidan Noni.  

“Terima kasih banyak, Bu Noni. Jika tidak ada Ibu, entah di mana saya bisa melahirkan si Kecil ini. Apalagi sekarang dukun kampung juga tidak ada di tempat,” kata Bu Aisyah pada Bidan Noni yang masih sibuk membersihkan bayinya.

“Iya, sama-sama, Bu. Kita harus saling menolong apalagi kita sesama muslim. Insyaallah semua ibadah.” Bidan Noni tersenyum lalu memberikan bayi kecil itu pada Bu Aisyah untuk di susui.

Rumah Bu Aisyah dan Bidan Noni masih berdekatan. Jadi mereka sudah sangat akrab sebelumnya. Sementara di luar ada tiga orang anak kecil yang menunggu bersama Pak Gunawan. Pak Gunawan bertubuh kecil tetapi langkahnya begitu pasti. Tatapan matanya begitu tajam dan penuh kepastian. Kulitnya kuning langsat dan di kepalanya selalu memakai kopiah layaknya orang surau. Pak Gunawan adalah ayah dari tiga anak kecil tersebut.

“Ayah, apakah adik kami sudah lahir?” seorang anak laki-laki bertanya sambil memegang tangan ayahnya. 

“Iya, alhamdulillah sudah, Nak.” Laki-laki tersebut menjawab dengan tersenyum.

“Hore adik kita sudah lahir.” Mereka bertiga tampak girang dan berteriak. 

“Jangan keras-keras nanti adiknya bangun," kata Ayahnya sambil menenangkan ketiga anak tersebut.

“Apa boleh kami masuk, Ayah?” tanya seorang anak perempuan berusia empat tahun sambil merengek.

“Belum, nanti kalau ibu bidannya sudah keluar baru kita bisa melihat adik ya, Nak.” Laki-laki itu berusaha membujuk ketiga anaknya sambil memegang kepala anaknya satu-satu.

“Epi, sini, Nak. Hapus dulu ingusmu. Nanti dilihat sama adik. Adik bilang' Kakak kok ada ingusnya.” 

Lalu dia langsung mengelap ingus Epi anak ketiganya itu. Mereka berempat tampak bahagia.

Di samping Pak Gunawan ada anak kecil berusia tiga tahun. Dia bernama Eva anak keempat pak Gunawan. Di mulutnya ada kompeng yang sejak tadi tidak lepas untuk di emutnya.

Sementara itu, di tangannya ada botol kecil yang isinya air teh yang telah dingin. Eva sejak tadi tampak sabar menunggu ibunya di dalam ruangan. Tiba-tiba Bidan Noni keluar dan meminta laki-laki itu masuk.

“Pak Gunawan, silahkan masuk. Selamat ya, Pak. Anak bapak perempuan. Dia sangat cantik sekali,” kata Bidan Noni pada Gunawan. 

“Alhamdulilah, makasih, Bu Bidan.” Pak Gunawan langsung masuk ke ruangan dan melihat istrinya yang sedang terbaring di atas kasur bersama putri kecilnya.

“Sebenarnya saya juga ingin melihat Aisyah melahirkan, tapi dia tidak mau malah menyuruh saya keluar,” kata Pak Gunawan pada Bidan Noni sambil tersenyum.

“Iya, saya kan malu, Bu Bidan," kata Bu Aisyah tersenyum malu. 

Lihat selengkapnya