“Penyesalan terbesar Bu Aisyah pada Riana yaitu meninggalkan Riana ketika berusia 40 hari untuk berjualan demi membayar hutang kelahirannya.”
Anak adalah amanah yang diberikan oleh Allah pada orang tua. Setiap mereka memiliki rezeki tersendiri. Jangan pernah takut miskin karena punya anak. Karena kita tidak tahu nasib anak tersebut di masa depan.
Rumah kayu 4x6 itu kembali meriah sejak kedatangan adiknya Riana. Suara bayi mungil yang memecahkan kesunyian dan keheningan malam memiliki aura yang berbeda. Sekarang popok bayi dan perlengkapannya kembali terjemur di depan rumahnya.
Bu Aisyah anak satu-satunya perempuan dari keluarganya. Oleh karena itu, dia dinikahkan begitu cepat. Waktu itu dia juga sering sakit-sakitan. Ibunya takut jika terjadi sesuatu padanya. Padahal dia sangat muda. Bisa dikatakan pemikirannya seperti anak-anak lainnya.
Hanya saja, kala itu badan Bu Aisyah subur. Sehingga banyak orang tidak menyangka kalau dia berusia empat belas tahun. Sebab itulah orang tua Bu Aisyah menganggap kalau Bu Aisyah ini akan dijadikan bibit generasi dan mesti punya banyak anak. Atas izin Allah, hari ini diusianya yang masih muda dia sudah memiliki anak lima orang di usia dua puluh lima tahun.
“Yah, sekarang adalah tahun ajaran baru. Berarti anak kita Iwit juga sudah masuk sekolah. Ibu rindu dengan Iwit, Yah.”
Kata Bu Aisyah pada Pak Gunawan yang sedang membersihkan peralatan taninya.
“Ya, Bu. Kita harus sabar dan kuat menahan rindu ini. Semoga kita bisa mengumpulkan uang lebih banyak. Sehingga kita bisa jemput Iwit agar bisa tinggal bersama kita lagi,” balas Pak Gunawan menatap Bu Aisyah.
“Ibu juga kepikiran dengan hutang kita sama Bidan Noni. Rasanya tidak enak kalau belum dibayar, Yah.” Bu Aisyah kembali membahas soal hutang kelahiran Riana. Pak Gunawan yang awalnya sibuk membersihkan alat taninya jadi berhenti, lalu mendekati Bu Aisyah yang sedang menggendong Riana.
“Ayah juga, Bu. Tapi mau gimana lagi. Ini kan baru seminggu. Ayah juga masih belum panen. Kita perlu sampaikan juga atas keterlambatan ini pada Bidan Noni,” ujar Pak Gunawan mencoba menenangkan pikiran Istrinya.
“Baik, Yah,” ungkap Bu Aisyah pada Pak Gunawan dengan wajah keraguan. Pak Gunawan sangat memahami mimik wajah Bu Aisyah. Kemudian Pak Gunawan yang berada di samping Bu Aisyah langsung memegang pundak Bu Aisyah dan tersenyum. Seolah Pak Gunawan menginginkan Bu Aisyah untuk tersenyum juga. Namun, Bu Aisyah tetap dengan ekspresi yang sama, datar dan penuh kebimbangan. Pak Gunawan mengambil peralatannya dan membawanya ke ladang.
Tidak terasa Riana sudah berusia tiga puluh hari. Suaranya semakin melengking memenuhi rumah. Gerakan kakinya begitu lincah. Senyumnya mengembang ketika ada saudaranya yang menghiburnya. Tiga orang saudaranya juga sangat bahagia menjaganya, kala Bu Aisyah mulai mengerjakan pekerjaan rumah. Riana kecil tidur manis di atas kasur yang sudah tua itu.
Waktu yang terus berjalan hingga Riana memasuki hampir empat puluh hari. Dia tumbuh aktif dengan kasih sayang keluarganya. Meskipun Bu Aisyah masih muda tetapi dia sangat lincah dalam mengasuh anak-anaknya.
“Yah, bagaimana hasil panen kita kali ini?”
tanya Bu Aisyah pada Pak Gunawan yang baru saja pulang dari ladang. Di tangan Bu Aisyah ada secangkir kopi hangat yang siap diminum. Dia meletakkan kopi itu di atas meja yang alasnya sudah lusuh. Lalu duduk bersandar di kursi tua.
“Alhamdulillah, Bu. Kita sudah panen. Namun hasilnya masih belum memuaskan. Sekarang musim hujan. Banyak tanaman kita rusak dan ada yang busuk,” jawab Pak Gunawan lalu mengambil kopi yang sudah disiapkan istrinya, dan dia duduk di samping Bu Aisyah.
“Berarti kita masih belum bisa membayar hutang kita pada Bidan Noni ya,” lanjut Bu Aisyah tertunduk lesu. Harapan satu-satunya untuk bisa membayar hutang pada Bidan Noni telah sirna. Wajahnya yang awalnya bahagia berubah menjadi muram dan tubuhnya terlihat gontai.
“Sudah lewat sebulan, Yah, kita berhutang. Dada Ibu rasanya sesak. Apalagi kalau bertemu sama Bidan Noni di warung.” Wanita anak lima itu berdiri dari duduknya.
Dia merajuk dan kesal pada Pak Gunawan lalu pergi ke kamar dan tidak lama kemudian membawa Riana keluar.
“Iya, tapi mau gimana lagi. Jangankan untuk membayar hutang. Untuk beli beras satu karung kecil saja hasil panen kita tidak cukup, Bu. Cobalah mengerti. Ayah juga sudah berusaha mencari rezeki untuk membayar hutang kita itu. Tetapi memang belum ada jalan. Lagian kita kan sudah bilang juga pada Bidan Noni. Beliau pasti paham kok.” Ujar Pak Gunawan dengan suara lembut.
Pak Gunawan mencoba membujuk Istrinya. Lalu dia menghibur putri kecilnya Riana yang sempat merengek dan hendak memegangnya.
“Jangan, Ayah. Ayah baru dari ladang. Mandi dulu, dan minta tolong gendong Riana. Ibu mau memasak dulu.” Jawab Bu Aisyah. Wajahnya masih tampak kecewa. Pak Gunawan yang sudah mengerti dengan sikap Istrinya langsung beranjak pergi dan berlalu dengan cepat. Tidak lama kemudian Pak Gunawan sudah tampak segar dan wangi.
“Ayah sudah mandi ya, Nak. Mari Ayah gendong. Semoga kelak Riana bisa membahagiakan keluarga dan orang tua aamiin,” kata Pak Gunawan sambil melirik pada istrinya yang sejak tadi berwajah muram.
Pak Gunawan begitu sigap menggendong bayinya yang berusia lebih satu bulan itu. Riana yang tahu kasih sayang Ayahnya juga menerima pelukan itu dengan senyum kebahagiaan. Mereka tampak bahagia. Bu Aisyah yang awalnya kecewa berubah menjadi terharu melihat suami dan anak bungsunya. Lalu dia pergi ke dapur untuk memasak.
Tubuh Riana kecil semakin kuat. Sudah bisa miring ke kiri dan ke kanan. Gelak tawanya semakin kencang. Semua orang senang melihat Riana. Edi saja ingin menggendongnya.
“Jangan, Nak. Adikmu masih kecil. Tulangnya masih lunak. Tunggu Edi dan Adik besar dulu ya. Barulah Edi boleh gendong Riana.” Ungkap Ibunya.
Bu Aisyah membujuk Edi agar tidak menggendong Riana. Padahal Edi sudah memegang badan adiknya yang dalam bedongan itu. Eva dan Epi juga ada di sana.
“Wah lucu sekali adik kita ya, Bu,” kata Edi sambil memegang pipinya.
“Alhamdulillah iya, Nak. Kamu harus jaga adik ya kalau Ibu bekerja,” lanjut Bu Aisyah. Lalu Edi memegang pipi Riana penuh kegemasan.
“Aduh jangan pegang pipi Adik. Nanti adiknya tidak mau makan.” Bu Aisyah tersenyum lalu menarik tangan Edi dan menjarakkan dengan pipi Riana. Eva dan Epi sibuk dengan mainannya.
“Edi, Ayah dimana?” tanya Bu Aisyah pada Edi yang duduk dekat Riana.
“Tidak tahu, Bu,” balas Edi dengan tatapan kosong.
“Baiklah kalau begitu. Jaga Adik sebentar ya. Ibu ada keperluan dekat warung. Nanti Ibu balik lagi. Tapi ingat ya. Jangan pegang pipi Adik. Ibu sebentar kok.” Bu Aisyah langsung pergi dengan cepat keluar.