“Tidak ada yang tidak mungkin, selagi mau berusaha yang terbaik.”
Hiruk pikuk terdengar di rumah panggung yang sederhana itu. Siapa lagi kalau bukan suara anak Bu Aisyah. Rumah yang dulunya sepi kini telah seperti pasar. Mainan berantakan, suara gaduh, sesekali bunyi rengekan anak bayi yang kehausan. Namun, tidak ada lagi suara rintihan anak kecil yang kesakitan. Benar, suara itu telah diangkat oleh Tuhan rasa sakitnya. Rengekan, rintihan, dan celotehan dari anak usia enam tahun yang bernama Eva kini telah hilang. Eva telah kembali pada Sang Pencipta. Eva telah sembuh dan bahagia di surga.
Apalagi kalau hujan, Bu Aisyah kadang meneteskan air mata. Dia teringat perpisahan terakhir dengan anaknya yang berwajah bulat itu. Wajah Eva mirip dengan Edi. Jika dia merindukan Eva, dia langsung memeluk Edi. Kadang Edi kaget atas perlakuan ibunya. Sedangkan Riana dan Epi sangat akrab bermain. Mereka hampir tidak pernah bertengkar. Epi sangat pandai bermain dengan adiknya Riana. Begitu juga dengan Riana. Riana sangat menghormati Epi. Wajar mereka tidak pernah berebut mainan. Mereka sudah tidak ingat lagi dengan saudaranya Eva. Mungkin dia belum mengerti arti sebuah kehilangan. Mungkin karena Eva sering sakit jadi mereka jarang bersama. Sedangkan Edi, karena sudah mulai sekolah, dia telah memiliki teman baru. Dia sudah mulai jarang di rumah. Bermain di lapangan, bahkan di sawah bersama temannya.
Bu Aisyah masih di Sumatra Barat. Awalnya Bu Aisyah tidak ingin lama di kampung kelahirannya, dan berharap Eva segera bertemu dengan kesembuhan. Namun, Allah berkehendak lain. Berbulan-bulan Bu Aisyah berjuang untuk mencari pengobatan Eva, tetapi tidak kunjung berhasil. Justru obat terakhirnya adalah perpisahan selama-lamanya. Karena itu, Edi sudah dipindahkan sekolah ke kampung untuk sementara. Alasan keduanya yaitu ingin menjemput Iwit anak sulungnya untuk pergi bersama ke Aceh.
Sekarang Riana tidak jadi anak bungsu lagi. Kelahiran adiknya Putra ketika di kampung membuatnya kurang diperhatikan. Wajar saja, karena Bu Aisyah tentu lebih memperhatikan bayi merahnya ditambah kesedihan mendalam atas kepergian Eva. Meskipun begitu, semua anak Bu Aisyah tetap terpantau dengan baik.
Sungguh takdir hanya Allah yang tahu. Ketika Putra lahir Allah mengambil Eva dari pelukannya. Masih ada rasa luka di hati Bu Aisyah dan Pak Gunawan. Namun, mereka berusaha tabah menghadapinya.
Setelah kepergian Eva dan menjalankan berbagai macam kebiasaan di kampung. Ada beberapa kegiatan setelah kematian sanak saudara. Di Sumatra Barat terutama Pariaman memiliki kebiasaan, sebagai bentuk penghormatan terakhir keluarga yang ditinggal untuk saudaranya yang telah pergi meninggalkan dunia ini. Yaitu berupa manigo hari, manujuh hari, manduo kali tujuah, ma ampek puluah dan maratuih hari. Kegiatan ini berupa berdoa bersama di rumah duka dan menjamu orang yang datang. Begitu juga dengan tamu. Mereka biasanya membawa sesuatu bisa berupa beras atau makanan untuk membantu tetangganya yang terkena musibah.
Karena Eva masih kecil maka kegiatan ini hanya sampai manigo hari . Anak-anak tidak berdosa. Setelah kegiatan itu dilakukan Bu Aisyah menuturkan keinginannya pada Bu Cahya untuk kembali merantau ke Aceh. Bu Aisyah juga ingin membawa anaknya Iwit ikut bersamanya. Dengan berat hati Bu Cahya melepaskan Iwit untuk pergi meninggalkannya. Iwit adalah cucu pertama dari Bu Aisyah. Akhirnya pergilah mereka dengan membawa berbagai macam kenangan, termasuk rasa duka kehilangan Eva.
Begitu juga dengan Iwit yang telah lama ditingalkan. Dia begitu senang bisa berkumpul dengan orang tuanya. Usia iwit waktu itu 11 tahun. Tepatnya kelas 4 SD. Iwit harus pindah sekolah ke tempat orangtuanya merantau. Tinggallah Bu Cahya di rumah beserta saudara Bu Aisyah lainnya.
Pak Gunawan sudah siap menunggu keluarga dan kekasih halalnya di dermaga. Bu Aisyah telah berkirim surat sebelumnya dan memberi kabar kalau mereka akan kembali ke Aceh. Untuk mencapai tempat tinggal mereka dari kota Aceh mereka harus menyebrangi pulau. Setiap perahu yang datang Pak Gunawan selalu mendekatinya untuk memastikan kedatangan istri dan anak yang dicintainya.
Tibalah saatnya perahu yang ditunggu. Di sana Pak Gunawan merasakan getaran kebahagiaan. Perlahan perahu itu menepi ke tepian dan tampaklah beberapa orang anak dan seorang ibu muda yang tidak lain adalah Bu Aisyah beserta anak-anaknya.
“Alhamdulillah, Ayah sudah disini rupanya,” kata Bu Aisyah tersenyum. Meskipun Bu Aisyah tersenyum namun suaranya bergetar. Seolah dia ingin mengadukan nasibnya yang baru saja kehilangan anaknya.
“Iya Bu, sejak tadi Ayah menunggu kedatangan kalian semua,” balas pak Gunawan. Pak Gunawan sangat paham itu. Tidak ingin Bu Aisyah larut dengan kesedihan. Dia segera membantu menurunkan semua barang-barang dan perlengkapan serta anak-anaknya.
“Alhamdulillah anak Ayah sehat semua. Ini Iwit ya?” Pak Gunawan tersenyum dan langsung mendekat pada seorang anak perempuan yang tampak mabuk laut. Anak itu menyalami tangan ayahnya.
“Ayo kita naik pedati dulu. Supaya cepat sampai rumah dan bisa istirahat.”
Di sana sudah ada pedati yang menunggu Bu Aisyah. Merekapun naik ke atas pedati dan bercakap-cakap di atasnya.
Riana duduk dipelukan ayahnya. Epi dan Edi kelelahan lalu tertidur. Sementara Putra sedikit merengek karena kehausan. Lalu Bu Aisyah menyusuinya. Iwit duduk persis dekat ibunya. Iwit begitu menikmati suasana desa di sana.
Sekarang mereka telah sampai di rumahnya. Rumah kayu 4x6 masih berlantaikan tanah. Hanya kamar saja yang sedikit ada semennya. Iwit tidak kaget dengan kondisi tersebut. Karena di kampung pun juga seperti itu. Lalu mereka beristirahat sejenak dari perjalanan yang melelahkan.
Sesampai di Aceh Iwit sangat takjub dengan pemandangan di sana. Rumah mereka tidak jauh dari laut. Iwit bahagia bisa membantu orang tuanya. Ketika pulang sekolah Iwit menjual bongkol yaitu seperti bubur sumsum yang berwarna hijau dan beraroma pandan lalu dikasih gula aren ke pasar bersama ibunya.
Sedangkan Epi sudah masuk sekolah. Dia sudah memakai baju merah putih. Riana kehilangan teman bermainnya. Sekarang dia terpaksa bermain sendiri.
Waktu terus berlalu kehidupan mereka masih sama. Bu Aisyah masih menjual jajanan sedangkan Pak Gunawan sibuk dengan ladangnya. Tepat ketika Riana sudah berusia lima tahun. Dia tidak mau bermain di rumah bersama adiknya Putra. Apalagi ibunya sekarang sibuk mengurus adik kecil. Bu Aisyah kembali diamanahi seorang anak laki-laki. Mereka beri nama Andra.
Riana ingin ikut Epi ke sekolah. Epi sudah kelas tiga SD. Epi memiliki badan yang besar dan kulit tidak terlalu cerah. Maklum mereka tinggal di kampung. Bermain di bawah terik matahari sambil memetik cengkeh adalah hobi mereka. Terkadang mereka bermain bersama Edi, abangnya. Kadang Edi sibuk bermain di tepi laut bersama teman mereka.
Pagi itu ketika Bu Aisyah sedang merapikan rambut Epi. Riana datang dan mendekat pada ibunya.
“Bu, Riana mau ikut Kak Epi ke sekolah. Riana tidak mau di rumah. Riana mau bersama Kak Epi,” ujar anak kecil berusia lima tahun itu dan terus menarik baju ibunya.
Bu Aisyah menganggap itu hanya rengekan semata. Jadi dia tidak begitu memperdulikan.
“Ya, Nak. Nanti kalau Riana sudah besar. Riana pasti sekolah. Sekarang Riana di rumah dulu ya,” bujuk Bu Aisyah pada Riana. Saat itu Riana diam tetapi kembali mengulang kata-kata tersebut setiap kali Epi pergi sekolah.
Sore harinya Bu Aisyah mengatakan pada Pak Gunawan untuk mencarikan solusi terbaik.
“Yah, Riana ingin ikut Epi ke sekolah. Riana ingin sekolah. Bagaimana menurut Ayah?”
“Bukannya Riana masih berumur lima tahun, Bu. Takutnya nanti dia tidak sanggup belajar seperti anak-anak yang lain.” Pak Gunawan menjawab dengan terus menyeruput kopi hitam yang disediakan istrinya.
“Bagaimana kalau dia coba-coba dulu. Supaya dia tidak menangis terus. Lagian Ibuk juga banyak kerjaan. Belum lagi dua si Kecil yang kini juga butuh perhatian. Nanti Riana kurang dapat perhatian sama Ibu. Kalau di sekolah dia ada teman bermain dan ada Epi juga,” pinta Bu Aisyah membujuk suaminya
“Baiklah kalau begitu. Besok coba kita tanyakan dulu ke sekolah ya. Ibu saja ke sekolah sebentar. Ayah yang jaga Andra dan Putra. Ada yang mau Ayah kerjakan juga di rumah. Tapi jangan lama-lama ya.” Pak Gunawan mengabulkan permintaan istrinya. Bu Aisyah senang dengan jawaban Pak Gunawan.