“Ada sebagian kepercayaan masyarakat di desa tentang tahi lalat. Ada yang percaya sebagai pertanda nasib baik atau pertanda lainnya.”
Hari ini adalah hari yang mendebarkan bagi semua murid, terutama bagi Riana. Karena saat ini akan menentukan dia lanjut sekolah atau tidak. Namun, Pak Gunawan yang hari itu kebetulan menghadiri pengambilan rapor di sekolah terlihat santai dengan senyum mengembang. Pak Gunawan sudah tahu kalau Riana mendapat juara. Dia mendapatkan kabar ini dari istrinya. Sebenarnya, hari ini Bu Aisyah yang menjemput rapor anaknya. Akan tetapi, Andra sedikit demam. Jadi, Pak Gunawanlah yang datang ke sekolah.
Riana belum tahu kalau dia dapat juara. Riana sengaja tidak diberi tahu sebelumnya. Biarlah nanti guru yang mengumumkannya di sekolah. Epi tampak santai saja. Dia juga tahu kalau nilainya pas-pasan. Sudah diakui, untuk urusan pelajaran Epi memang tidak terlalu menguasainya. Namun, kalau urusan jualan dan berkelahi Epi sangatlah jago.
Lonceng berbunyi pertanda masuk kelas. Murid-murid tampak cemas. Saat itu sekolah juga dihadiri oleh orang tua murid. Sekaligus untuk menginformasikan berbagai macam keperluan dari sekolah pada wali murid.
Tidak lama kemudian. Nama Riana disebut sebagai juara tiga di kelasnya. Semua orang bertepuk tangan termasuk Pak Gunawan. Riana maju ke depan untuk mengambil rapor dan mendapatkan hadiah dari gurunya. Pak Gunawan sangat bahagia melihat Riana. Selanjutnya ada diskusi bersama guru. Semua murid diminta untuk menunggu di luar sebentar.
Kemudian Pak Gunawan keluar ruangan beserta wali murid lainnya. Dia melihat dua anak kecil menunggunya dengan sabar.
“Ayo sini, Anak Ayah. Ayah mau Lihat rapornya,” pinta Pak Gunawan pada Epi dan Riana.
Riana langsung memberikan rapor pertamanya sementara Epi tampak malu-malu memberikannya.
“Kenapa Epi? Apa merah lagi, Nak?” Ayahnya tersenyum.
“Tidak apa apa, Nak. Yang penting kamu harus rajin belajar ya. Supaya bisa naik kelas dan cepat tamat,” pesan Pak Gunawan pada Epi yang sudah kelas tiga SD itu.
“Riana selamat ya, Nak. Kamu juara. Harus rajin belajar lagi dan tidak boleh sombong ya,” ujar Pak Gunawan pada Riana.
Riana mengangguk dan mereka pulang bersama dengan hati bahagia. Pak Gunawan tidak memarahi Epi kalau nilainya tidak terlalu bagus. Karena dia mengakui, Epi sejak kecil memang terlalu cepat konsumsi susu formula. Dikarenakan waktu itu, Bu Aisyah keburu hamil sehingga umurnya yang kecil sudah berhenti menyusu ASI. Padahal secara kesehatan seorang anak berhenti ASI diusia dua tahun. sedangkan Epi di usia satu tahun. Belum lagi waktu itu mereka dalam kondisi hidup lumayan makmur. Berbagai macam makanan yang dimakan oleh Epi. Makanan yang mengandung pengawet, penyedap dan pemanis. Bukan disengaja juga tapi kondisi yang membuat itu terjadi. Bu Aisyah yang sedang hamil tidak bisa mengontrol anaknya. Sementara Pak Gunawan sibuk dengan dagangan yang sedang laku keras.
Karena itulah Pak Gunawan memakluminya saja. Meskipun Epi kurang pandai dalam akademik tetapi dia pandai berjualan. Sebenarnya dia sudah bisa membantu ibunya berjualan ketika libur bersama Iwit kakaknya. Sedangkan Riana yang masih kecil hanya ikut-ikutan duduk dengan kakaknya Epi. Kadang Riana tidak ikut jualan.
Sekarang rumah itu penuh haru, karena Iwit dan Edi juga mendapatkan nilai yang bagus. Setidaknya kesedihan pasangan suami istri itu terobati, dengan melihat anaknya yang semakin hari semakin besar dan pintar.
Ketika Iwit telah tamat SD dia melanjutkan sekolah SMP. Sedangkan Edi juga sudah kelas enam SD. Iwit sekarang jarang membantu ibunya berjualan. Tugas berjualan ini turun tahta kepada Epi.
Epi anak pemberani dan tidak pemalu. Dia berani berjualan di sekolah. Tak hanya itu, dia juga sering pergi jualan ke tempat orang pesta dan keramaian lainnya. Ketika di sekolah Epi selalu bersama Riana. Lagi-lagi Riana hanya ikut menemani Epi saja.
Pernah kejadian Epi dan Riana diganggu oleh temannya. Ketika pulang sekolah. Untunglah jualannya sudah habis. Mereka didorong sampai masuk sungai. Toples dagangan mereka berserakan. Baju mereka basah dan kotor.
Seiring berjalannya waktu, Riana semakin bertambah besar. Jika dilihat-lihat wajahnya mirip dengan Iwit. Kata orang jika wajah mirip bersaudara, biasanya mereka saling bertentangan. Sampai saat ini, belum nampak pertentangan itu. Mungkinkah suatu saat itu terjadi, hanya Tuhan yang tahu.
Ketika mandi ibunya melihat di dua pundak Riana ada empat tahi lalat yang berdekatan.
“Wah anak ibu ada empat tahi lalat di pundaknya. Kata orang tahi lalat itu pertanda bisa jadi orang berpangkat.” Bu Aisyah sangat bahagia melihat pertanda itu.
“Semoga ya, Nak. Kamu jadi pegawai atau lainnya. Semoga kamu bisa menaikkan harga diri keluarga kita,” lanjut ibunya yang terus menyabuninya.
Riana yang belum mengerti maksud ibunya, dia hanya diam dan tersenyum sambil memperhatikan tahi lalat itu.
“Di sisi lain tanggung jawabmu juga berat, Nak. Ibu percaya tidak ada yang tidak mungkin.” Bu Aisyah berbicara pada diri sendiri untuk memaknai tahi lalat.
Kepercayaan seperti ini masih lekat di hati masyarakat desa. Entah kenapa ada sebagian kepercayaan itu memang terjadi. Karena itulah kepercayaan itu begitu kental dan mendarah daging. Keyakinan Bu Aisyah pada tahi lalat itu juga membuatnya semakin berhasrat pada Riana, agar Riana rajin belajar dan bisa mewujudkan mimpinya. Nasib memang tidak ada yang tahu. Tetapi berpikir positif adalah salah satu cara agar kita bernasib baik.
Malam itu Bu Aisyah dan Pak Gunawan berkumpul dengan keluarganya. Keluarga kecil mereka telah lengkap. Putri sulungnya yang semakin hari semakin cantik. Iwit sudah mulai mengeluarkan kharismatiknya. Dia sering diganggu oleh teman lelakinya di sekolah. Dia juga pintar dan bersih. Ada yang mengungkapkan rasa pada Iwit, tetapi Iwit tidak mengubrisnya. Iwit juga sering membantu orang tuanya.
Sementara itu, Edi juga sudah tumbuh jadi anak laki-laki tampan. Dia pendiam namun, sikapnya menghanyutkan. Edi sering bermain di laut dengan Iwit. Lucunya dia main ke tempat nelayan mengambil ikan kecil-kecil. Padahal dia tidak tidak dengan ikan tersebut. Mereka sering diberi oleh nelayan ikan untuk dibawa pulang. Mereka tahu kalau Iwit dan Edi anak dari Pak Gunawan. Pak Gunawan sangat dikenal baik oleh masyarakat di sana.
Sedangkan Epi dia tetap jadi anak pemberani. Keberaniannya sesuai dengan ukuran tubuhnya. Meskipun kulitnya tidak terlalu cerah tetapi wajahnya bulat dan lucu. Kalau dia marah semua teman-temannya jadi takut. Dia adalah pahlawan Riana. Selalu menjaga adiknya dan selalu siap pasang badan jika adiknya disakiti orang. Begitu juga dengan Riana. Semakin hari semakin berprestasi. Dia rajin belajar agar bisa jadi juara. Sekarang dia sudah mau keramas dan rajin bangun pagi. Demi keinginannya untuk bisa sekolah.