“Hati itu telah menjerit, tapi entah pada siapa akan diadukan.”
Dua orang anak perempuan berjalan penuh semangat ke sekolah. Ada toples makanan di tangan mereka. Siapa lagi kalau bukan Riana dan Epi. Setiap hari mereka berjualan di sekolah. Mereka berjualan membantu orang tuanya. Bersyukurnya jualannya sering habis. Guru juga senang melihat mereka karena tidak memiliki rasa malu dan gengsi.
Epi memiliki trik untuk membuat dagangan cepat laku. Ketika ada anak yang mau belanja dengan orang tuanya. Epi langsung buru-buru memberikan pada anak tersebut. Ketika dagangannya sudah dimakan oleh anak tersebut, otomatis ibunya harus membayar dagangan tersebut. Cara jitu itu sudah sering dilakukan oleh Epi dan hasilnya sangat memuaskan. Tetapi kondisi ini tidak bisa diterapkan sembarangan. Hanya cocok pada kondisi tertentu. Misalnya pada acara pesta atau acara keramaian. Lagian orang tua pasti tidak mau malu karena tidak bayar dagangan yang dimakan oleh anaknya.
Epi memiliki badan semakin bongsor. Rambutnya sebahu. Pipinya tembem. Dia makin lihai berjualan. Dia juga pandai merayu pembeli untuk membeli dagangannya. Walaupun dia banyak menikmati suka duka dalam berjualan. Namun, dia tetap optimis melihat masa depannya. Di sampingnya ada Riana yang berambut panjang. Di rambutnya ada jepitan kecil. Dia masih pemalu. Meskipun begitu dia selalu jadi pemuncak kelas. Berbeda dengan Epi. Dia jago berkelahi di lapangan. Untuk urusan nilai selalu pas -pasan. Walaupun begitu Pak Gunawan dan Bu Asiyah tidak terlalu ambil pusing. Mereka tahu kalau setiap anak memiliki kecerdasan masing-masing. Tidak perlu kesal. Cukup diarahkan saja.
Hari ini Riana sudah masuk kelas III. Hari-harinya selalu bersama Epi. Iwit sudah hampir tamat SMP. Edi sudah masuk SMP. Mereka sudah tidak mau bermain dengan adiknya lagi. Mereka sibuk belajar.
Andra dan Putra juga sudah makin besar. Mereka sudah bisa bermain bersamaa. Kehidupan ekonomi mereka masih sama. Namun, Pak Gunawan tidak lagi bekerja di ladang. Pak Gunawan sekarang pergi ke hutan besar untuk mencari kayu gaharu bersama penduduk lainnya. Kadang pulang seminggu sekali, sebulan sekali, bahkan tiga bulan sekali.
Pak Gunawan tidak mau bertahan dengan kondisi itu. Karena anak-anak mereka sudah mulai besar dan sekolah. Mereka butuh biaya. Apalagi sekarang dia memiliki seorang putri kecil yang baru saja lahir. Anak mereka sudah sembilan orang. Yang hidup tujuh orang. Sedangkan pada tahun sebelumnya memiliki seorang putra yang meninggal usia 6 bulan. Allah lalu ganti dengan seorang putri yang diberi nama Putri Mandum. Nama ini terinspirasi dari film India yang ditonton oleh Bu Aisyah. Menariknya wajahnya mirip sekali dengan almahumah Eva. Seolah Tuhan mengganti kesedihan pasangan ini dengan lahirnya putri kecil ini.
Kala itu pohon gaharu sangat banyak di hutan besar. Harganya sangat mahal. Pak Gunawan memulai profesi ini sejak istrinya hamil. Bu Aisyah sering tinggal di rumah bersama anak-anak. Mungkin karena Iwit dan Edi sudah besar. Jadi, Pak Gunawan sudah berani meninggalkan mereka dan mencari rezeki di hutan belantara.
****
Bu Aisyah memutuskan untuk pulang kampung dengan anak-anaknya. Riana sudah kelas empat SD. Mereka semua terpaksa pindah sekolah lagi ke kampung. Dengan sigap Pak Gunawan mengurus semuanya. Lalu mereka meninggalkan tanah rencong itu dengan dengan harapan baru, bisa hidup lebih baik di Sumatra Barat. Sedangkan Pak Gunawan masih bertahan di Aceh dan mengirimkan nafkah untuk kebutuhan keluarganya.
Bu Cahya sudah mulai tua. Tampak dari wajahnya yang sudah mulai berkerut. Dia tidak lagi menjadi orang terkaya di kampung. Sebagian hartanya telah habis. Mulai dari mobil, mesin diesel dan harta lainnya.
Sekarang dengan harapan berbakti pada orang tua dan merawatnya. Bu Aisyah kembali menapaki hidup di kampung dan serumah dengan orang tuanya.
Tidak lama di Aceh, Pak Gunawan pulang kampung dalam kondisi sakit. Dia bahkan diprediksi tidak akan bisa bertahan, karena itulah laki-laki berambut ikal itu mengusahakan pulang kampung. Ingin melihat keluarga di sisa hidupnya. Saat itulah ujian kembali menerpa kehidupan keluarga Pak Gunawan. Dengan kesabaran mereka, atas izin Allah Pak Gunawan sembuh.
Kehidupan silih berganti. Pak Gunawan kembali melanjutkan perjuangannya menjadi seorang kepala rumah tangga. Dengan pengalaman dan kejujuran Pak Gunawan. Pak Gunawan memulai karir sebagai pengambil kelapa di kampung. Pak Gunawan membeli monyet dan mengajarinya untuk mengambil kelapa. Satu persatu masyarakat di kampung mulai mempercayai kelapanya untuk dibeli oleh Pak Gunawan.
Nah, karena profesi Pak Gunawan telah berubah. Maka semua anaknya yang sudah besar diajak untuk membantu. terutama Edi, Putra, Epi, dan Riana.
Edi sudah bisa membantu ayahnya untuk memisahkan kelapa dari sabutnya. Sedangkan Epi, Riana, dan Putra membantu membawa kelapa dari hutan ke jalan untuk dijual. Sedangkan Iwit, baru tamat SMP di Aceh lalu melanjutkan sekolah di SMEA Pariaman. Dia pulang sekali seminggu. Iwit tidak bisa membantu orang tuanya. Waktu itu Edi masih SMP. Jadi Edi masih bisa membantu ayahnya ketika pulang sekolah.
Sebuah bukit terdengar cerita dua anak manusia. Di kepalanya ada karung yang lumayan berat. Mereka tampak sangat berhati-hati berjalan. Sesekali mereka bersorak untuk menghilangkan rasa takutnya. Mereka tampak kompak dan kadang tertawa bersama. Semilir angin memberikan kenyamanan pada mereka. Apalagi pepohonan sekitar juga membantu mereka agar tidak kepanasan. Tidak ada rumah di sana. Yang ada hanya pepohonan yang rimbun, tupai atau kera yang mencari kehidupan. Tiba-tiba mereka berhenti dan menurunkan karung yang mereka bawa.
“Kakak kenapa?” Riana bertanya pada kakaknya Epi yang tampak menangis.