Mimpi Riana & 22 KM

Restia Bela Pertiwi
Chapter #7

Lembah Pantaghok

“Andai lembah itu bisa bicara, maka dia akan ikut menangis melihat Riana.”


Seperti mendengarkan petir di siang bolong. Remaja putri itu terkejut tidak karuan. Dia mendengar percakapan orang tuanya tentang sekolahnya yang baru. Dia tidak menyangka, kerja kerasnya di sekolah, menjadi pemuncak kelas, sifat menurutnya malah tidak berarti arti apa-apa bagi orang tuanya.

Kenapa? Kenapa Ibu dan Ayah tega memperlakukan aku seperti ini? Apa salahku padamu? gumamnya dalam hati. Dia langsung masuk ke kamar dan menangis sejadi-jadinya. Bantal yang usang itu telah basah karena air matanya. Pintu kamar itu dia kunci dari dalam. Tidak ada yang boleh masuk sampai dia membolehkan. 

Dia adalah Riana. Anak yang dulu pernah ditinggal untuk berjualan di usia 40 hari demi membayar hutang. Sekarang Riana sudah tamat sekolah dasar. Awalnya Riana sangat bahagia karena nilai Riana tergolong bagus. Riana ingin sekali masuk SMP Negeri yang tidak jauh dari rumahnya. SMP itu sekitar 6 KM dari rumahnya. Semua anak seusianya akan sekolah di SMP itu. Mereka yang sudah sekolah di SMP itu tampak bahagia. Apalagi setiap pagi mereka berebutan naik angkot. Riana selalu melihat kepergian para remaja di kampungnya. Dia juga ingin merasakan suasana itu.

Apa daya semua impian dan keinginan Riana jadi kandas. Orang tua Riana ingin dia masuk Madrasah Tsanawiyah. Lokasinya sangat jauh. Sekolah itu terletak di kampung ayahnya. Bahkan Riana diminta untuk tinggal di sana saja supaya tidak kejauhan pergi sekolah. Bukan apa-apa. Lagi-lagi persoalan ekonomi. Apalagi saat itu Adik Riana bertambah. Adik Riana juga sudah sekolah. 

Riana bangkit dan menghentikan tangisannya. Dia menghapus air matanya. Dia diam dan menatap jauh keluar jendela.

Ibu dan Ayah tidak sayang padaku. Kenapa Kak Epi yang dipaksa masuk SMP. Padahal nilai kak Epi tidak bagus. Sedangkan aku memiliki nilai yang bagus.

Riana kembali membatin. Lagi-lagi air matanya jatuh berderai tetapi tidak sederas yang tadi.

Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu kamar. Lalu dia cepat menghapus air matanya dan membuka pintu. Dia tidak melihat ada orang di luar. 

Mungkin perasaanku saja katanya dalam hati. Riana kembali merebahkan badannya di atas kasur. Mentalnya begitu down, badannya terasa lunglai dan dia pun ketiduran. Seolah dia sedang menyiapkan diri untuk menempuh perjalanan panjang itu dari sekarang. Karena dua hari lagi ayahnya akan mendaftarkan ke sekolah Madrasah Tsanawiyah. Tepatnya hari minggu sore kisah hidup Riana dimulai.

“Burrr,” terdengar bunyi dari dalam semak, persis dekat jalan setapak yang dilalui oleh Riana. Dia terkejut dan berhenti melangkah. 

“Untunglah cuma burung puyuh,” ujarnya berbicara sendiri. Burung puyuh adalah burung yang mirip dengan ayam. Namun, ekornya pendek. Burung puyuh sering bermain dan mencari makan di semak-semak. Sepertinya dia juga terkejut mendengar kedatangan Riana dan ayahnya. Semilir angin sore menerpa wajahnya. Bunyi burung dan hewan lainnya jadi irama alunan langkah mereka.

Riana sekarang sudah ikhlas menerima takdir untuk sekolah pilihan orang tuanya. Sekarang dia mencoba menapaki takdir yang sudah Allah gariskan padanya. Kaki kecil itu tampak melangkah dengan penuh kepastian. Meskipun di hatinya ada rasa was-was berjalan di hutan itu. Dia pergi dengan ayahnya untuk pertama kalinya. Masih berat hatinya melihat cinta pertamanya itu. Apa boleh buat, dia tidak berdaya. Dia hanya ingin meringankan beban orang tuanya. Apalagi sejak tinggal di kampung. Sering terjadi pertengkaran di rumah. Bukan antara Ibu dan ayahnya. Melainkan Ibu dengan neneknya. Setidaknya ini bisa menguranginya melihat pertengkaran itu semua.

Sekarang mereka sudah sampai di tepi lembah Pantaghok. Sebuah lembah yang menghubungkan dua desa. Desa Kali Gantang dan Desa Batang Lawai. Di bawah lembah itu terbentang sawah dan dikelilingi bukit yang masih asri dan rimbun. Jika dilihat dari tepi lembah, tidak tampak jalan yang akan dilewati. Kalau kita bersorak dari tepi tebing maka suara kita akan kembali memantul. Benar saja sebelum turun ke lembah itu, ayahnya bersorak dulu. Tujuannya memberitahu pada semua penghuni hutan jika mereka akan melewati jalan itu. Sebagai bentuk salam. Riana menarik napas panjang. Seolah masih belum percaya. Masih berada dalam mimpi. 


Ayah Riana mulai menuruni lembah itu dan berpesan pada Riana untuk hati-hati. Sepanjang perjalanan pikirannya menerawang. Ujiannya bagaikan tak henti-henti.

Riana oh Riana. Nasibmu begitu malang.

Lihat selengkapnya