“Kadang rasa sakit itu bisa membuatmu jadi lebih kuat.”
Tahun ajaran baru telah tiba. Semua anak-anak tampak bergembira. Ada yang baru masuk sekolah dan ada pula yang sudah naik kelas. Ada yang punya teman baru dan ada pula yang punya sekolah baru.
Namun, tidak dengan Riana. Wajahnya tidak secerah temannya. Wajahnya begitu datar dan sedih. Kenapa tidak? Dia akan pindah ke tempat neneknya demi sekolah. Belum lagi dengan bangunan sekolah yang di luar ekspektasinya. Dia juga akan kehilangan teman baiknya waktu di kampung.
Riana sekarang sedang bersiap untuk pergi ke Batang Lawai. Dia memasukkan beberapa baju dan buku ke dalam tasnya. Sedangkan ayahnya juga sibuk membantu memasukkan keperluan Riana ke dalam kardus yang akan dibawanya nanti.
Bu Aisyah sebenarnya juga berat hati melepas anaknya itu. Namun, tidak ada pilihan, ini yang terbaik buat anaknya. Bu Aisyah juga tidak tega Riana harus berjalan kaki setiap hari menempuh perjalanan sekitar 8 KM. Apalagi yang ditempuhnya bukan jalan raya melainkan hutan dan jalanan yang sangat sepi.
Setelah Riana berkemas, dia langsung berpamitan pada ibu dan saudaranya. Waktu itu Epi masih di rumah. Dia akan belajar menjahit. Epi tidak mau melanjutkan sekolah. Epi malas dan malu selalu ditertawakan oleh teman seumurannya. Jika Epi sekolah mungkin dia sudah tamat sekolah menengah pertama.
Suasana begitu haru, Riana pergi dengan ayahnya siang itu. Tampak adik dan saudaranya melambaikan tangan padanya. Riana mencoba menahan air matanya. Makin jauh dari rumah dia makin tidak tahan. Akhirnya air matanya tumpah. Dia sengaja berjalan agak cepat dari ayahnya. Dia berjalan di depan agar Pak Gunawan tidak melihatnya menangis.
Hampir sepuluh menit mereka berjalan. Sekarang mereka sampai di Lembah Pantaghok. Mereka berhenti sebentar untuk melepas penat. Riana mengambil botol air minum dan meneguk air tersebut, Riana menawarkan air itu pada ayahnya. Pak Gunawan menggeleng dan meminta Riana saja yang minum. Selang beberapa lama mereka melanjutkan perjalanan. Menyusuri lembah yang sepi itu. Kemudian mereka masuk ke sebuah terowongan air. Rasanya seperti di dalam gua. Air yang jatuh dari atas berbunyi keras. Mungkin karena bentuk terowongan. Jadi suaranya begitu terdengar jelas.
Setelah menyusuri terowongan air, sampailah mereka di hamparan sawah yang luas. Tampak beberapa petani yang mulai menanam padi. Pak Gunawan menyapa orang tersebut. Mereka tersenyum. Kaki mereka terus melangkah sampai akhirnya bertemu dengan sungai kecil dan sungai besar. Airnya tampak jernih dan ikan juga lumayan besar. Ayah meminta beristirahat dulu. Ayah tahu Riana pasti lelah. Sambil mencuci kaki Riana menikmati pemandangan yang asri itu. Batunya lumayan besar. Banyak lumut yang menempel di sana. Mungkin karena musim kemarau. Jadi lumut banyak tumbuh di bebatuan sungai.
Matahari sudah mulai melorot ke bawah. Riana dan Pak Gunawan telah sampai di rumah neneknya. Pak Gunawan langsung memasukkan barang Riana. Malam itu Riana diberikan wejangan oleh ayahnya. Pokok pembahasannya yaitu harus rajin belajar dan tidak boleh melawan pada neneknya. Maklumlah nenek sudah tua. Riana juga jauh dari orang tua. Harus menjaga kesehatan dan jaga harga dirinya.
Riana mengangguk dan paham atas semua pesan ayahnya. Lalu dia masuk ke kamar untuk tidur. Dia ambil selimut yang dibawa dari rumah. Tinggallah orang tuanya, adik dan kakaknya. Tinggallah kampung halaman dan teman semuanya. Sekarang Riana pasrah dengan takdirnya hidup bersama nenek. Demi orang tua dan cita-citanya ingin jadi orang sukses, menjadi guru dan punya banyak uang.
*****