Mimpi Riana & 22 KM

Restia Bela Pertiwi
Chapter #9

Ingin jadi Guru

"Siapa sangka rasa sakit ketika jatuh, membuatnya bisa memiliki pola pikir yang lebih maju untuk masa depan."


Siang itu begitu terik. Riana baru pulang sekolah. Dia keluar dari kelasnya. Seperti biasa. Uang jajannya hanya cukup untuk membeli ubi rebus. Itupun sudah habis. Tiba-tiba perutnya terasa lapar. Dia tidak mau ke rumah neneknya sejak kejadian itu. Bahkan bisa dikatakan dia lebih memilih pulang langsung daripada harus singgah ke rumah neneknya. 

“Geer geer,” perut Riana berbunyi dan bergetar. Dia memegang perutnya dan terus melanjutkan perjalanan. Karena sudah tidak tahan dengan rasa lapar dan haus. 

Apa yang harus aku lakukan ya. Aku lapar dan haus sekali. Apalagi cuaca sangat panas. Wajahnya menyeringai di bawah sinar matahari. Remaja putri itu kembali memutar otaknya untuk bisa mendapatkan makanan dan air untuk menguatkan tubuhnya yang mulai loyo. Tiba-tiba dia mendapatkan ide. Riana memutuskan membuat sumur di tepi sungai. Tangan kecilnya menggali pasir dan membentuknya seperti sumur kecil. Diam-diam Riana meminum air sumur buatannya itu.

“Alhamdulillah, setidaknya air ini bisa membuat perutku terasa kenyang. Ayo semangat Ana,” ujarnya memberikan semangat pada dirinya sendiri. Dia kembali dipertemukan dengan hamparan sawah lalu menempuh pendakian di lembah Pantaghok. Hampir 30 menit dia melewati perjalanan panjang itu. Sampailah dia di puncak lembah Pantaghok. 

“Alhamdulillah, tinggal 20 menit lagi aku sampai rumah. Nanti bisa langsung makan.” Riana berbicara dengan dirinya sendiri. Dengan tetap dia berjalan. Kakinya berjalan lebih cepat agar bisa sampai rumah. Benar saja, baru sampai rumah, dia tidak sempat mengganti baju tetapi langsung mengambil piring untuk makan.

“Lapar sekali ya Ana?” suara terdengar dari dalam kamar. 

“Iya, Bu. Ana lapar sekali sejak pulang sekolah.” Riana menjawab dengan mulut penuh makanan.


“Ya sudah. Habiskan segera makananmu. Lalu istirahat sebentar. Nanti bantu ayahmu membawa kelapa ya,” kata Bu Aisyah dari dalam kamar. 

“Baik, Bu.” Riana kembali melanjutkan makannya dengan lahap. Sejak dia tidak tinggal bersama neneknya. Dia kembali membantu orang tuanya membawa kelapa atau menggembala sapi. Sapi itu diberikan oleh keluarga ayah pada pernikahan Iwit kakaknya. Sebagai bentuk hadiah keluarga ayah pada cucu pertamanya. Iwit sekarang sudah menikah dengan laki-laki yang dia cintai. Namun, entah kenapa suami Iwit tidak pulang dan meninggalkannya begitu saja tanpa kabar berita. Mereka baru menikah beberapa bulan. Riana tidak mau ikut campur dengan pernikahan kakaknya. Riana hanya diam dan melihat saja. Dia masih sangat kecil dan belum memahami arti sebuah pernikahan. Sekarang Iwit tinggal di kampung bersama orang tuanya.

Keesokan harinya, Riana telah sampai di sekolahnya. Namun ada yang aneh. Mereka tidak diperbolehkan untuk masuk kelas. Ternyata bangunan sekolahnya itu memiliki masalah. Ada tulisan dilarang masuk. Tanah ini bermasalah. Kemudian datanglah guru dari sekolah masing-masing. Mereka semua mengajak semua murid untuk dipindahkan ke lokasi baru. Berbondong-bondonglah murid untuk pindah ke sekolah baru. Hati Riana sangat senang. Riana bisa sekolah di tempat yang jauh lebih baik. Lalu mereka dibawa oleh gurunya untuk pergi ke sekolah baru.

Anak MIN dipindahkan ke sebuah bangunan yang lumayan bagus. Bangunannya hampir sama dengan yang lama. Lokasinya jauh lebih baik daripada sebelumnya. Sementara Riana dan temannya di pindahkan ke sekolah dengan bangunan yang ukuran 3x3, berdindingkan papan dan berlantaikan tanah.

Riana tersentak, mereka semua terkejut. Siswa MTS itu membelalakkan matanya melihat sekolah barunya. Ternyata itu adalah bekas kandang sapi. Mereka saling memandang.

“Astagfirullah. Kita sekolah di sini ya, Bu?” Riana bertanya pada gurunya.

Lihat selengkapnya