Mimpi Riana & 22 KM

Restia Bela Pertiwi
Chapter #11

Keluargaku Harapanku

 “Harta yang paling berharga adalah keluarga.”

 

 

Sebuah kamar tampak berantakan. Banyak barang yang sudah dikemas ke dalam kardus. Di sana ada gadis berbadan mungil memakai jilbab. Dia sedang memasukkan buku-buku usang ke dalam kardus kosong sambil menyanyi. Hampir semua peralatan kamarnya sudah masuk ke kardus. Tinggal kasur dan beberapa peralatan makan.

 

“Alhamdulillah. Akhirnya aku selesai juga memasukkan barang-barang ini. Nanti akan ada abang becak yang membantu membawa semua barang.” Dia berbicara sendiri lalu mengikat kardus tersebut dengan tali rafia berwarna merah. Dia berdiri dan melihat ke arah kaca.

 

“Riana, kamu sudah tamat sekarang. Tinggal menunggu hasil ujian keluar. Jadi kamu harus semangat ya. Kamu harus bersiap melanjutkan mimpimu.”

 

 Tiba-tiba datanglah remaja putri yang menyapanya.

 

“Hai, Kak, sudah beres-beres yah. Kapan Kakak mau pindahan?”, Suaranya mengejutkan Riana yang tengah berdiri. Lalu dia menoleh ke arah suara tersebut.

 

“Insyaallah hari ini, Dek. Kamu hati-hati ya disini. Ngapain dekat pintu. Ayo masuklah. Maklum berantakan, heheh,” Riana mendekat pada juniornya tersebut.

 

“Iya makasih, Kak. Kakak rencana mau kuliah dimana nanti?” remaja yang memakai kaos oblong itu mendekati Riana.

 

“Hmmm. Kalau Kakak mau kuliah di UNP. Cuma lihat kondisi aja. Kalau ada rezeki insyaallah ada jalannya.” Riana tersenyum.

 

“Iya benar, Kak. Apalagi Kakak sering juara. Semoga bisa lulus di kampus idaman Kakak. Aamiin. Saya keluar dulu ya, Kak.” Riana mengangguk, kini dia tinggal sendiri lagi dan melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda.

Riana ingin sekali masuk ke perguruan. Tinggi di kota Padang. Karena itulah dia belajar yang rajin agar selalu mendapatkan nilai terbaik. Bahkan sampai dia ingin ikut kuliah lewat jalur undangan.

 

Waktu yang paling tunggu telah datang. Jantungnya begitu berdegup kencang. Dalam hati dia selalu berdoa. Jangan sampai tidak lulus. Karena jika dia tidak lulus, maka dia harus mengulang lagi.

Apalagi sistem ujian Nasional bisa saja membuat anak yang juara bisa tidak lulus sekolah. Banyak kejadian, anak yang berprestasi bisa tidak lulus ujian karena terlalu cemas selama ujian. Begitu juga dengan Riana.

Dia begitu takut tidak lulus. Karena itu bisa menunda impiannya untuk kuliah di kampus favoritnya. Dia sering membayangkan dirinya memakai almamater. Riana memang sering terpesona melihat mahasiswa. Apalagi mahasiswa pemberani yang bisa berorasi di lapangan. Kemudian, namanya dipanggil untuk menerima surat kelulusan.

 

“Alhamdulillah, aku lulus.” Riana lulus dengan nilai terbaik. Dia sangat bahagia.

 

Setelah mendapatkan informasi kelulusan, Riana merayakan dengan semua temannya. Mereka membuat acara perpisahan terutama teman yang satu kos dan beberapa teman dekatnya. Mereka berjanji akan tetap menjaga silaturahmi.

Apalagi nanti mereka kuliah di Padang. Sore harinya Riana pulang dengan membawa kertas tersebut. Sesampainya di rumah Riana langsung memberitahu kabar baik ini. Mereka semua bahagia. Tiga hari kemudian Riana mencoba memberanikan diri untuk mengatakan keinginannya.


Lagi-lagi nasib belum berpihak padanya. Riana masih di uji dengan ekonomi. Dia belum bisa melanjutkan kuliah ke kampus impiannya. Kebetulan Pak Gunawan baru pulang dari rumah ibunya. Dia mendapatkan kabar gembira.

 

“Ana, tadi ayah bertemu dengan Pak Malal. Dia menanyakan kamu,“ ujar Pak Gunawan.

 

“Oh ya. Ada apa, Yah. Apakah Pak Malal sehat-sehat saja?” Riana kembali bertanya. 

“Alhamdulillah dia sehat. Dia mau memberimu kesempatan untuk mengajar,” ungkap Pak Gunawan dengan wajah cerah.

 

“Mengajar di mana, Ayah?” Riana masih penasaran dengan apa yang disampaikan oleh ayahnya.

 

“Kalau tidak salah di sekolah MIN. Kebetulan di sana kekurangan guru. Kalau kamu mau, cobalah hubungi beliau. Mana tahu ini rezekimu.”

 

“Baik, Ayah. Nomor beliau masih ada. Nanti Ana akan tanya pada bapak itu, ” jawab Ana.

 

Pak Gunawan senang melihat Ana. Setidaknya rasa sedihnya bisa terobati dengan mulai mengajar. Mana tahu nanti ada peluang lain yang bisa diraihnya. Selanjutnya Riana menghubungi Pak Malal. Ternyata benar, Pak Malal sedang mencari guru honor untuk membantu mengajar di MIN tersebut.

Dia sangat senang mendengar Riana mau mengabdi di sana.Riana sendiri juga senang setidaknya dia bisa mengumpulkan uang disana. Nanti uang itu bisa disimpan untuk tambahan kuliah. Dia terpaksa tinggal dengan neneknya. Meskipun neneknya belum terlalu berubah. Tetapi Riana sudah mulai dewasa.

Dia tidak terlalu menjadikan itu sebagai alasannya untuk tidak tinggal di sana. Justru dia melihat ada peluang lain yang jauh lebih besar. Seperti kata pepatah. Kadang peluang itu datangnya dari masalah. Kalau kita fokus pada masalah maka peluang itu akan hilang. Namun, jika kita fokus pada peluang masalah itu bisa kecil.

Lihat selengkapnya