Mimpi Riana & 22 KM

Restia Bela Pertiwi
Chapter #15

22 Kilometer

“Riana tidak menyangka kembali bertemu dengan takdir yang sama.


Guru adalah pahlawan tanpa tanda saja. Sayangnya banyak disalahartikan oleh banyak orang. Tanpa tanda jasa berarti bisa ikhlas mengajar tanpa digaji. Ini adalah pemahaman yang salah. Gaji adalah bentuk cara Tuhan memberikan rezeki. Guru haruslah di hargai karena perannya sangatlah tinggi pada negara dan bangsa. 


Tidak semua orang yang mau mengajar di daerah terisolir. Tidak semua orang mampu melawan rasa takut dan bahkan mengorbankan nyawanya demi sebuah pekerjaan. Begitulah yang dialami oleh Riana. Awalnya dia tidak sanggup untuk melanjutkan perjuangannya. Namun, rasa sakit dihina dan dicemooh membuatnya mampu dan rela untuk menempuh itu semua. Demi masa depan dan keluarga tercinta. 


Sekarang Riana telah yakin dengan keputusannya. Dia telah mempersiapkan diri untuk memulai perjuangannya lagi. Karena handphonenya hilang. Riana terpaksa membeli yang baru. Dia meminjam uang saudara dan berjanji akan menggantinya. Pagi itu dia sangat sibuk. Memasukkan beberapa bajunya ke dalam tas. Karena dana yang begitu minim. Riana terpaksa membawa baju kuliah yang masih layak untuk dipakai ketika mengajar. Tidak hanya itu, Bu Aisyah juga sibuk mempersiapkan bekal untuk anaknya yang telah resmi menjadi seorang guru PNS di desa terisolir itu. Adik-adiknya tidak kalah sibuk. Mereka juga ikut membantu kakaknya yang mungil itu. Riana senang melihat keluarganya begitu mensupport dan mendoakannya. Apalagi adik-adiknya masih dalam masa pendidikan. Meskipun mereka tinggal di rumah seperti itu, mereka tetap bahagia dan tidak pernah komplain. 


“Doakan Kakak cepat terima gaji, nanti kalian akan Kakak belikan baju dan belikan makanan yang enak,” begitulah ungkapan hati Riana ketika melihat adiknya.


“Jam berapa nanti perginya, Ana?” Bu Aisyah bertanya.


“Mungkin jam sebelas, Bu. Lebih cepat pergi lebih baik. Karena Ana mau mencari rumah untuk tinggal bersama teman yang lainnya,” jawab gadis pemberani itu.


“Ini ada bekal dan beras yang bisa dimasak,” ungkap Bu Aisyah.


“Iya terimakasih Bu. Di dekat dapur, Pak Gunawan sedang membersihkan alat taninya sambil melirik anak gadisnya tersebut. Kemudian Bu Aisyah mendekat pada suaminya dan berbisik-bisik. Riana tanpa sengaja melihat orang tuanya itu jadi tersenyum.


“Ana, ini ada sedikit uang untuk kamu tinggal di sana dari Ibu dan Ayah. Mungkin belum banyak, tetapi sebelumnya kan ada kiriman dari Abang dan kakakmu. Apa itu cukup, Nak?” Bu Aisyah menyerahkan uang yang ada dalam genggamannya pada Riana.


“Alhamdulillah, terima kasih, Bu. Insyaallah. Nanti Ana akan berhemat. ” Riana mengambil uang tersebut tanpa menghitungnya. Dia memasukkan ke dalam dompetnya yang sudah berusia dua tahun. Dompet itu berwarna coklat. Dia beli dari hasil kerja kerasnya ketika masih kuliah. Riana telah siap mengemas semua barang. Bu Aisyah juga sudah selesai memasak. Kebetulan dapur mereka ada di depan rumah. Ukurannya hanya 1x1, dapur darurat. Jika hujan, tungkunya basah tergenang air. Dengan pelan-pelan Bu Aisyah membawa gulai kacang panjang yang masih panas.


“Pitri. Ajak Ayah dan Kak Ana makan. Kita makan bersama. Hari ini Kak Ana mau pergi.” Pitri yang baru berusia lima tahun langsung berlari memanggil Ayah dan kakaknya. Tidak butuh waktu lama, mereka berkumpul di ruangan yang darurat itu. Sambil makan, Bu Aisyah menyeka keringatnya. Cuaca sangat cerah. Rumah mereka terasa sangat panas. Begitu juga dengan Riana. Bedaknya sudah mulai luntur karena keringat yang membanjiri keningnya. 

Sebelum berangkat Ibu berpesan pada Riana.


“ Ana, karena Ana hari ini mau pergi. Ingat pesan Ibu ini ya. Karena kamu bilang di sana ada dukun dan ilmu gaib lainnya. Kamu harus jaga diri ya, Nak. Kalau nanti kamu diajak makan oleh warga di sana. Pertama, kamu harus pandai berbasa-basi. Walaupun kita jarang makan yang enak di rumah. Namun, kamu harus sedikit menahan dirimu dari godaan tersebut. Jika dia masih memaksa, maka makanlah apa yang dimakan oleh orang tersebut. Jangan makan makanan yang tidak disentuh oleh orang lain.


"Jika kamu mau makan pemberian orang tersebut. Cobalah letakkan lidahmu pada langit-langit. Jika masih geli berarti makanan itu aman. Jika tidak ada rasa geli, lebih baik kamu tinggalkan saja. Kamu jangan terlalu berbesar hati di sana. Jaga ucapan, jaga sikap. Kita ini orang tidak berpunya, Nak. Jangan sampai ketika kamu sudah jadi PNS nantinya. kamu bersikap sombong pada warga. Banyak orang tidak suka dengan orang sombong. Makanya bisa terjadi hal yang tidak diinginkan tersebut. Pesan ini sangat berguna nantinya ketika kamu berada di sana. Ibu dan Ayah selalu berdoa semoga kamu dilindungi oleh Allah. Aamiin.


“Jaga ucapanmu nanti. Jangan merendahkan orang terutama laki-laki."


“Kalau kamu tidak suka, ucapkan dengan kata yang baik dan sopan. Aagar mereka tidak sakit hati mendengarkan ucapanmu.” Riana mengangguk tanda paham.


Bu Aisyah sebenarnya sangat yakin anaknya akan menjadi anak yang baik di manapun. Hanya saja sebagai orang tua dia harus selalu mengingatkan anaknya. Mana tahu bisa kebablasan karena lupa dengan aturan. Karena itulah sebelum pergi Bu Aisyah berpesan pada anaknya tersebut.


Setelah makan, Riana bersiap untuk pergi ke Padang. Sebelumnya dia sudah memberi kabar pada temannya untuk menginap malam itu di rumahnya. Dia berpelukan dengan Ibu dan adik- adiknya. Pada Pak Gunawan, Riana bersalaman dan meminta doa. Riana pergi dengan hantaran doa dari orang yang mencintainya. 


Sebuah bus melaju dengan cepat. Musiknya sangat keras. Penumpangnya tidak terlalu ramai. Riana duduk di dekat jendela. Menikmati angin yang menerpa wajahnya. Sesekali bus itu berhenti menaikkan penumpang. Riana melepaskan pandangan ke arah penumpang. Semua orang asing yang tidak dikenalnya. Dia kembali meletakkan kepalanya di sandaran kursi. Matanya sesekali terpejam karena kantuk melanda. 


Lihat selengkapnya