“Adikku sayang, nasibmu malang.”
Suasana pagi itu begitu hiruk pikuk. Rumah Bu Aisyah memang sangat dekat dengan jalan raya. Ada tiga anak kecil berseragam merah putih berpamitan pada orang tuanya. Mereka bernama Maya, Pitri dan Ratih. Ketiganya adalah adik Riana. Mereka semua sekolah di tempat yang sama. Pitri kelas I SD, sedangkan Maya kelas III dan Ratih sudah kelas V. Cuaca pagi itu begitu cerah, Ratih berjalan dengan dua adiknya. Ketika berjalan dia bertemu dengan teman sekelasnya. Ratih sibuk berbincang dengan temannya itu. Rumah mereka cukup jauh dari sekolah. Sekitar 3 Kilometer. Kemudian ketika mendekati sekolah, Maya berjalan lebih cepat. Sehingga Pitri yang tidak memiliki teman mengikuti jalan Maya. Sedangkan Ratih masih saja bercerita dengan temannya. Awalnya Pitri masih dekat dengan Ratih. Karena dia melihat Maya jalan lebih dahulu dia pun mengejar kakaknya itu.
Sepertinya Ratih tidak terlalu memperhatikan Pitri adik bungsunya. Putri mengejar Maya yang semakin jauh di depan. Maya tidak tahu kalau Pitri mengikutinya. Dia terus berjalan dengan cepat. Ketika ada belokan, entah kenapa Maya langsung menyeberang dan dengan cepat sampai di seberang jalan. Pitri yang merasa ketinggalan dari Maya langsung menyebrang pula tanpa melihat kiri dan kanan. Maya masih belum tahu kalau Pitri terus mengejarnya.
Dari arah lain, ada seorang ojek yang membawa dua penumpang melaju dengan kencang. Dia membawa dua orang anak SMP. Kecepatannya 70-80 KM perjam. Tanpa aba-aba terjadilah tabrakan.
Ya ternyata ojek itu menabrak Pitri adik bungsu Riana. Ratih dan Maya sangat terkejut melihat kejadian itu. Ratih dan Maya melihat Pitri tampak terbang melayang dan terjatuh ke tanah. Bersyukurnya dia memakai tas yang agak besar. Tas itu menyelamatkan kepalanya dari benturan. Sedangkan anak SMP yang dibawa oleh ojek tersebut jatuh terpelanting ke dalam sawah mereka langsung pingsan. Rupanya ketika menyebrang jalan, Pitri belum sampai di ujung lalu disambut oleh motor ojek tersebut.
Tanpa pikir panjang Ratih memeluk adiknya. Ratih panik sekali tetapi dia masih sempat berpikir logis. Maya langsung mengejar adiknya dan mau pergi bersama untuk berobat. Namun, Ratih meminta Maya tetap pergi ke sekolah untuk melapor kecelakaan tersebut. Ratih berusaha mencari pertolongan untuk membawa Pitri ke rumah bidan. Maya sangat galau dan dilema. Karena terus dipaksa oleh Ratih, Maya pergi berlari sambil menangis. Lalu ramailah orang berdatangan melihat kejadian. Awalnya ada seorang ibu mau menolong mereka. Hanya saja karena darahnya terlalu banyak, Ibu tersebut tidak sanggup membawanya. Padahal mereka sudah naik ke motor ibu tersebut. Ibu jadi takut melihat Pitri yang bersimbah darah dan darahnya terus keluar.
Selanjutnya ada ojek lain yang membantu mereka. Hampir saja orang salah paham. Orang di sana mengira ojek itu yang menabrak Pitri. Beruntungnya Bapak itu segera menjelaskan dan membawa kedua anak malang itu.
Sepanjang jalan Ratih menutup luka Pitri. Lukanya persis di dekat lubang hidungnya Ratih tidak sanggup melihatnya. Dia berusaha menutup luka itu, agar darah tidak makin banyak keluar. Seluruh bajunya bersimbah darah. Berubah berwarna merah.
“Kita ke tempat Bidan Mawar saja.”
“Tidak, Pak. Bidan itu sudah pindah rumah. Dia tidak tinggal di sana lagi. Lebih baik kita ke tempat Bidan Melati saja.” Ratih menjawab dengan tegas pada ojek tersebut. Akhirnya ojek itu langsung membawanya ke tempat bidan yang lain. Setelah sampai di sana, rupanya bidan itu sedang mengurus anak SMP yang pingsan tadi.
Sayangnya Pitri tidak ditangani karena bidannya juga panik. Ironisnya Pitri masih sanggup berjalan masih dan masuk ke ruang bidan dipegang oleh Ratih. Tiba-tiba datang Bu Aisyah sambil berteriak.
“Pitri anakku,” teriak Bu Aisyah mengejar Pitri yang bersimbah darah. Pitri masih sadar dan berjalan. Bu Aisyah langsung memeluk Pitri dan langsung membawanya pergi ke Puskesmas. Sedangkan Ratih ditinggal seorang diri. Setelah melihat Pitri pergi bersama ibunya. Ratih langsung pulang dengan baju yang berlumuran darah. Sampai di rumah dia langsung merendam baju tersebut. Airnya berubah menjadi merah. Sekarang dia sendiri di rumah menunggu informasi tentang adiknya.
Sedangkan Maya berusaha tetap ke sekolah. Dia sangat cemas, takut, galau dan prihatin dengan adiknya. Saat itu teman-temannya sedang senam. Maya tidak ikut, dia malah menangis. Melihat Maya menangis, teman-temannya mendekatinya dan bertanya.
“ Maya kamu kenapa?”
“Adikku ditabrak orang.”
“Apa?Kenapa kamu masih di sini. Kamu pulang saja. Ambil tas mu.
“Aku juga ingin pulang. Tapi aku takut minta izin pada guru.”
“Jangan begitu. Sampaikan saja pada Ibu guru.” Dengan kekuatan penuh, Maya mendatangi guru dan mengatakan kalau adiknya ditabrak orang. Gurunya mengizinkannya pulang. Dia lega dan berlari sambil menangis. Ketika di jalan banyak orang bertanya, kenapa pulang dan tidak sekolah. Maya menjawab kalau adiknya ditabrak orang. Barulah orang itu diam dan membiarkan anak kelas III SD itu pergi begitu saja. Sambil berlari Maya menangis sejadi-jadinya. Dia khawatir pada adiknya. Sampai di rumah dia tidak melihat siapa-siapa. Dia mengganti baju dan menunggu kabar tentang adiknya.
Rupanya Ratih dibawa oleh saudaranya ke rumah yang di kampung. Di sana ada Kak Epi yang menjaganya. Ranti meratapi nasib karena tinggal sendiri dengan kak Epi. Ratih teringat kecelakaan itu. Dia merasa dunia seakan berhenti berputar. Persis seperti di sinetron. Ratih terus berpikir bagaimana nasib adiknya.
Ibunnya selalu bilang ‘kita orang miskin. Ratih takut nanti adiknya tidak dibantu oleh pihak rumah sakit karena mereka miskin. Ratih benar-benar trauma dan overthinking sejak kejadian itu. Ratih Tinggal di sana beberapa hari. Dia tidak sekolah dan tidak mendapatkan informasi tentang adiknya. Hatinya begitu hancur. Awalnya Ratih memang tegar menangani adiknya. Setelah beberapa hari baru ada rasa cemas, takut dan lainnya.