Mimpi Tanpa Tapi

VelouRa
Chapter #1

Terjepit Keadaan

Andaikan, orang tua mau, sejenak, meluangkan waktu untuk mendengar dan menerima keluh kesah anak, mungkin aksi protes dengan berbagai sikap dan perilaku yang tidak diinginkan, tak akan muncul ke permukaan kehidupan. 

***

Suara melengking, memekakkan telinga, menyentil kuat jantung Alida yang sedang hanyut di alam mimpi! Kedua mata gadis berusia 17 tahun itu terbuka seketika. Perih. Pandangannya segera melesat, melihat jam yang terpajang di dinding kamar. Alida lantas mengambil guling, kemudian menutup wajahnya rapat-rapat. 

Aarrrrghhhh! Kenapa sih Mama nggak bisa bangunin anaknya pelan-pelan? Kenapa tiap pagi selalu teriak kayak dunia mau kiamat? Ngancurin mood aja!” gerutunya sekuat tenaga, diikuti kedua kaki menghentak kasur kapuk, tempat tidurnya. 

“ALIDA, BANGUN! CEPAAAT!” Dari luar kamar, Mama kembali berteriak dengan nada tinggi seakan rumah mereka sebentar lagi digulung tsunami! “BANTUIN MAMA BUNGKUS NASI!”

“Iya, Ma! Bentar.” Disertai napas memburu dan kondisi mata masih perih, Alida mendudukkan tubuhnya dengan kesal. “Mama kan tahu gue baru tidur jam 1 pagi! Kenapa malah dibangunin jam 3 pagi terus, sih? Apa nggak bisa kasih toleransi? Ck!” racaunya, pelan. 

Setelah mengambil handuk, Alida pun menyeret malas langkahnya keluar kamar. Kesal. Marah. Capek. Ngantuk. Semua rasa bergulung dalam benak Alida. Dengan cuek, ia pun melewati Mama dan Kakak yang sedang duduk di ruang tengah, membungkus puluhan pesanan nasi padang. 

“Mama senang kalau anak Mama pintar, tapi jangan jadi anak pemalas. Masa bantuin orang tua harus disuruh dulu! Apalagi Alida anak perempuan Minang, harus mau rajin di dapur!” tegas Mama dari belakang Alida. 

Telinga Alida panas. Darahnya mendidih. Tiap pagi selalu begitu kicauan Mama. Seolah-olah, gelar ‘anak perempuan Minang pemalas’ memang patut disematkan di belakang nama Alida, hanya karena bangun kurang pagi, jarang membantu diurusan perdapuran dan pe-rumahan.

Sedangkan, seisi rumah tahu jika Alida seringkali bangun tengah malam untuk belajar. Ia juga aktif dalam kegiatan sekolah, sampai pulang saat matahari nyaris terbenam. Semuanya Alida lakukan agar dapat mempertahankan nilainya. Nilai rapot yang selalu dibangga-banggakan Papa dan Mama pada semua orang, kalau anak mereka juara umum satu sekolah!

Namun, keduanya tidak tahu dan mungkin tak pernah mau tahu, seberapa letih Alida berusaha. Hanya karena sudah tidak kuat lagi mendengar, bahwa ia adalah satu-satunya anak yang paling menyusahkan! Sampai-sampai, cerita tentang Mama meregang nyawa waktu melahirkannya, seringkali diputar bak box office movie paling dinanti. Alida pun bergegas memasuki kamar mandi. Tak mau suasana hatinya makin berantakan mendengar ocehan mama. 

“Al, nasi padang pesanan teman Alida, udah Mama masukkan ke dalam tas hitam di atas kursi itu, ya.” Mama segera memberitahu begitu melihat Alida keluar dari kamar mandi. Ia dan kakak Alida sudah selesai membungkus semua nasi padang yang akan dijual hari itu. “Nanti ambil uang jajan dan ongkos pulang dari hasil jualan.”

“Kalau uang buat bayar SPP Alida, Ma?”

“Besok, ya? Kemarin uangnya Mama pakai untuk bayar uang kuliah kakak sama SPP adik-adik.”

“Kenapa Mama nggak mendahulukan bayar SPP Alida? Bukannya, Mama udah janji mau lunasin hari ini? Nanti kalau ditagih TU lagi, gimana?” Perasaan Alida yang sudah adem sentosa sejak diguyur dinginnya air di pagi buta, mulai bergejolak! Sudah 2 bulan ia menunggak SPP, ditambah biaya-biaya saat kenaikan kelas yang belum dibayar. Selalu saja kakak dan adik-adiknya yang jadi prioritas Mama dan Papa! Kedua tangan Alida mengepal di sisi tubuhnya.

Lihat selengkapnya