SMA Cendana Satu-Jakarta Selatan, 2004.
Istirahat siang belum berakhir, tapi Alida sudah selesai mengisi penuh perutnya. Gadis berkerudung itu lalu melangkah lebar-lebar bak dikejar setan, menuju lab biologi yang sejuk dan sepi orang.
Alida kemudian duduk di hadapan dua teman bicaranya, yang sengaja ia bawa ke sekolah.
Dua makhluk berbeda jenis yang dua tahun belakangan menjadi tempatnya berbagi beban, canda dan tawa, sampai impian ingin menjadi seorang ahli biologi di bidang pertanian.
Bukan. Bukan untuk meningkatkan komoditas pertanian di Indonesia. Bukan pula, untuk menemukan varietas baru yang dapat berkembang biak lebih banyak, dan tahan di segala kondisi, serangan hama atau cuaca yang tak menentu.
Namun, karena makhluk berjenis tumbuhan itu adalah makhluk ajaib. Mereka ternyata bisa merespon manusia!
Si Abul-anggrek bulan-bisa keganjenan dan centilnya tak ketulungan hanya karena sering dapat elusan. Bunga dengan kelopak putih itu pun jadi mudah sekali berbunga, segar dan bugar sepanjang waktu.
Beda lagi dengan Si Beibi-murbei bonsai, yang cuma diajak ngobrol tiap sarapan pagi, jadi rajin berbuah hampir tiap hari.
Tak hanya itu. Si Abul dan Si Beibi bisa saling cemburu, kalau elusan, dan obrolan yang Alida berikan berat sebelah!
Alida kemudian memetik satu buah si Beibi.
“Gue pengen merantau. Bosen diomelin muluk. Kayaknya papa sama mama nyesel banget punya anak kayak gue. Bukannya bersyukur punya anak pinter,” celotehnya tanpa beban, lalu menyuap buah berbentuk bulat agak lonjong, berwarna ungu gelap.
Tangan Alida yang lain mengusap-usap daun Si Abul. Karena ia sedang melahap buahnya Beibi. Kalau tidak begini, daun Abul bisa tiba-tiba menguning. Pura-pura mau mati. Alias, ngambek!
“Tapi, kayaknya lo berdua nggak bisa gue bawa.” Alida kembali memetik buah Beibi. Kemudian membuka mulut, hendak melempar buah dengan rasa asam manis agak kecut itu ke dalamnya.
Namun, sebelum hal itu terjadi, tiba-tiba Alida menutup mulutnya. Sepasang mata gadis bertubuh kecil itu lalu memicing, dahinya mengernyit, memandangi Abul dan Beibi secara bergantian.
Walaupun begitu-begitu saja penampakan mereka berdua, gadis berusia 17 tahun itu yakin, kalau kedua tanamannya sedang bergosip dengan frekuensi suara yang berbeda dengannya.
“Awas lo berdua pada ngambek, terus janjian pura-pura mati kayak waktu itu!” cetus Alida serius, lalu dengan santai memakan buah kaya nutrisi dan antioksidan itu. Ia mengambil satu buah murbei lagi, dan langsung melahapnya.
“Nanti gue sedih, nggak punya temen curhat, yang nanggapin gue dan nunjukin sayangnya dengan cara bertumbuh, berbunga dan berbuah!” ucap Alida, sedikit dibuat-buat mau menangis.
Seulas senyum tengil lalu terbit di wajah putih pucat Alida. Abul bisa tahan berbunga lama, dengan gombalan bak kaleng rombeng yang sering Alida lontarkan. Beibi apalagi. Makin rajin berbuah dia! Alida tersenyum puas dalam hati.
Kelakuan Abul dan Beibi yang ajaib ini adalah alasan Alida, ingin meneliti lebih lanjut perangai makhluk berjenis tumbuhan. Kalau hanya diajak ngobrol saja tanaman dapat bertumbuh pesat, tentulah tak perlu teknologi canggih untuk membuat bumi ini terhindar dari krisis pangan, atau bahkan krisis lingkungan? Tapi, jelas tak sesederhana itu kehidupan di muka bumi ini.
Tiga buah murbei sebagai pencuci mulut, sudah lenyap ke dalam perut Alida yang makin begah, kekenyangan. Laboratorium ber-AC yang begitu sejuk pun membuat Alida tak berdaya disergap kantuk.
Tak sampai lima menit siswi teladan tukang molor (SITEKOR) itu sudah terbang ke awang-awang. Itulah yang membuatnya tergesa-gesa menuju lab. Numpang tidur sebelum pelajaran biologi dimulai.
Alida lupa ingatan, kalau selepas istirahat siang, ia diminta guru Biologi untuk membuka bab pelajaran Pertumbuhan dan Perkembangan, dengan menceritakan pengalamannya merawat Si Abul dan Beibi. Alida pun tertidur pulas dengan tenang dan tanpa beban.
“Alida, bangun!” bisik Fany, teman sebangku Alida. Bel tanda istirahat sudah selesai, baru saja berbunyi. Salah satu sahabat Alida itu sudah duduk di sampingnya lima menit yang lalu.
“Ck! Bentar. Lima menit lagi!” balas Alida, malas, dengan posisi kepala tergeletak di atas meja, tanpa bantalan apa pun.
“Lima menit apaan? Lo udah tidur di sini dari istirahat belum selesai, Al! Ayo, bangun! Siap-siap buat mulai belajar,” tangkis Fany, mulai gelisah.
Mereka duduk di kursi paling depan, berdekatan dengan meja guru. Pandangan gadis dengan rambut sering dikuncir kuda itu, lalu beralih ke jendela lab. Mencari ujung kumis guru biologi yang terkenal sebagai guru paling killer, sepanjang sejarah perguruan SMA Cendana Satu.
Alida tak menggubris. Ia malah memutar kepalanya, menghadap ke meja guru.
“Alida! Lo mau sekelas dijemur?” tekan Fany, pelan, masih tak menyangka dengan kebiasaan Alida yang sering molor di kelas, tiap selesai istirahat siang.